Setelah Aceh luluh lantak digempur gempa 9.3 skala Richter dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004. Bencana ini menewaskan sekitar 200.000 orang dan merupakan bencana nasional terbesar dan terparah.
Dengan bantuan beberapa negara dan para relawan anak bangsa sendiri, pemulihan paska gempa dan tsunami dimulai dengan mengumpulkan dan mendata korban tewas atau hilang. Karena banyaknya korban dan berbahaya bagi kesehatan sisa warga yang selamat, terpaksa korban tewas dikuburkan secara massal di Siron (dekat bandara) dan Meuraksa (dekat pantai Ulee Lheue).
Perumahan anti gempa segera dibangun, infra struktur seperti jalan raya, listrik, air bersih dan komunikasi segera dipulihkan. Dimana-mana didirikan trauma center guna memulihkan mental warga yang selamat namun kehilangan anggota keluarganya. Jepang yang ahli gempa telah membangun rumah anti gempa, sebagai lokasi penyelamatan bila terjadi gempa.
Dalam kurun waktu 4-5 tahun, Aceh sudah dapat kembali normal. Guna memperingatkan warga akan bahaya tsunami, dibangun Museum Tsunami Aceh dan beberapa lokasi ditetapkan sebagai situs tsunami. Dengan tujuan warga selalu waspada. Kini petunjuk arah evakuasi bila terjadi gempa dan tsunami dapat dengan mudah kita temukan di Banda Aceh.
Kuburan Massal
Ada dua lokasi kuburan massal, yakni Siron, dimana dimakamkan 46.700 jiwa korban keganasan bencana alam tsunami 26 Desember 2004 dan kuburan massal ke dua di Meuraksa yang juga merupakan kuburan massal korban tsunami yang telah dipugar oleh UNDP.
Perahu Diatas Rumah
Di daerah Lampulo terdapat situs peringatan bencana tsunami Perahu Diatas Rumah. Perahu nelayan ini terdampar diatas rumah dan berhasil menyelamatkan 59 orang, meski setelah air surut sempat ditunggui seekor buaya.
PLTD Apung
Museum PLTD Apung berupa Kapal PLTD Apung yang terseret gelombang tsunami dan menimpa rumah penduduk. Lokasi ini sekarang dijadikan situs peringatan kedahsyatan tsunami.