Tanpa kita sadari, banyak penerapan logika terbalik dalam kehidupan kita. Coba perhatikan, bila ada orang biasa-biasa saja bahkan cenderung miskin atau yang penghasilannya pas-pasan sedang berbelanja di toko parcel, maka ia akan minta dibuatkan parcel yang bagus dan mahal, karena parcel itu akan dihadiahkan ke bossnya.
Sebaliknya, bila ada orang kaya raya sedang belanja di toko parcel, maka ia akan minta dibuatkan parcel yang paling murah saja, karena itu akan dihadiahkan kepada karyawan bawahannya.
Pertanyaan menariknya adalah siapa yang lebih miskin dan siapa yang lebih kaya dan siapa yang lebih baik? Mungkin tiap orang akan memiliki jawaban menurut logikanya masing-masing.
Misal, si kurang berpunya ingin memberikan hadiah terbaik, agar ia dipandang oleh si kaya. Orang kaya memang lazimnya lebih pelit, karena mereka bisa kaya akibat pandai berhemat. Mengenai siapa yang lebih baik, bakal terjadi perdebatan seru.
Begitulah manusia, logika berpikirnya sering terbalik-balik. Kepada orang yang seharusnya pantas disantuni, justru kita menjadi sangat pelit. Sebaliknya, kepada orang yang berkelimpahan harta, kita justru menjadi sangat royal.
Seharusnya kepada orang dari aras lemah / bawah, kita selayaknya berlemah lembut kepadanya, justru kepadanya kita sering kali bersikap kasar dan jahat dalam ucapan maupun sikap.
Kepada orang yang sepantasnya kita tegur karena kesombongan dan kejahatannya, justru kita menjadi sangat hormat, meski belum tentu bermaksud menjilat.
Kepada orang yang setiap hari makan mewah, kita mengundangnya dalam pesta dengan suguhan makanan yang 'wah' dan melimpah. Sebaliknya, kepada orang yang hari ini bisa makan dan besok belum tentu bisa makan, justru kita memberinya makanan sisa yang kita sendiri sudah tidak mau menyantapnya.
Memberi sumbangan kepada orang yang sedang mengadakan hajatan (pesta kawin, promosi jabatan, sunatan atau ulang tahun), lazimnya dipilihkan yang mahal dan nilainya tinggi. Sebaliknya menyumbang kepada keluarga orang yang sedang kesusahan (ada yang meninggal dunia, sakit keras, kena musibah), seringnya hanya recehan atau serelanya. Coba tengok baskom ditempat orang meninggal dunia, kita sering hanya melihat nominal paling besar 50 ribu Rupiah.
Ya, begitulah kebanyakan manusia, sering kali logika berpikirnya terbalik-balik.
Guna mengevaluasi, apakah logika berpikir Anda sudah benar, simaklah pesan ini: "Bila mau mengukur kebaikan seseorang, lihatlah cara dia memperlakukan orang-orang dibawahnya atau orang-orang yang tidak memberi keuntungan apapun kepadanya".