Glodok, siapapun pasti mengenalnya, selain sebagai pusat perdagangan elektronik, disinilah terletak kawasan Pecinan sejak era penjajahan Belanda dulu. Pada era penjajahan Belanda, Glodok adalah tempat isolasi orang Tionghoa, terlebih sejak peristiwa pemberontakan orang Tionghoa atau Pembantaian 10.000 orang Tionghoa di Angke di tahun 1740, maka orang Tionghoa tidak diperbolehkan berdiam di dalam kota Batavia. Orang Tionghoa yang dianggap pemberontak, harus tinggal di luar benteng kota Batavia.
Bersama Jakarta Food Adventure, kami melakukan jelajah Pecinan Jakarta dengan mengambil titik kumpul di Seven Eleven - Hotel Novotel Jakarta Gajah Mada. Hotel Novotel dipilih sebagai titik kumpul, karena Hotel Novotel menaungi sebuah kawasan cagar budaya di dekatnya, yakni Rumah Canda Naya. Rumah Candra Naya dulunya adalah rumah seorang Mayor bangsa Tionghoa, bernama Khouw Kim An. Perkumpulan Canda Naya adalah perkumpulan orang Tionghoa untuk olahraga, kesenian dan pengobatan, semula dikenal dengan nama Yayasan Sin Min. Rumah dengan arsitektur Tionghoa ini semula terdapat tiga rumah, salah satunya pernah ditempati Kedutaan Besar Tiongkok, namun dua rumah kini sudah berganti rupa, dan hanya tinggal satu rumah yang ditetapkan menjadi cagar budaya, yakni Rumah Candra Naya.
Memasuki Rumah Candra Naya, Anda akan menemui sebuah ruang tamu, lalu di belakangnya terdapat ruangan yang lebih besar yang biasanya untuk menerima tamu yang sangat dekat dengan pemilik rumah atau ruang keluarga. Di bagian belakang Rumah Candra Naya terdapat kolam ikan yang asri dengan beberapa pancuran.
Di kiri kanan Rumah Candra Naya terdapat beberapa rumah makan, diantaranya Kopi Oey dan Resto Fubar. Anda dapat menikmati makanan sambil menikmati arsitektur kuno yang masih dipertahankan dan terpelihara dengan baik.
Pasar Petak Sembilan
Dari Rumah Candra Naya, kami bergerak ke arah kawasan Glodok, kami melewati Pasar Petak Sembilan, pasarnya orang Tionghoa, karena disini salah satu pasar yang langka karena terdapat penjual daging babi. Selain daging babi, Anda juga dapat menemukan penjual labi-labi, bulus, kodok, ayam dan tripang / lintah laut. Pasar Petak Sembilan kini dikenal sebagai jalan Kemenangan III. Di ujung jalan ini yang dikenal sebagai Pancoran, Anda akan menemukan banyak pedagang obat tradisional Tionghoa. Rumah disini rata-rata berlantai dua, bagian atas untuk tempat tinggal, dan bagian bawah untuk berdagang. Mungkin inilah prototype dari rumah toko yang sekarang.
Perjalanan dilanjutkan dengan mengunjung Gereja Santa Maria de Fatima, gereja dengan arsitektur bangunan khas Tionghoa ini, mungkin satu-satunya gereja dengan arsitektur Tionghoa yang ada di Indonesia. Semula merupakan rumah pejabat Tionghoa Letnan Tjioe, yang menghibahkan rumahnya menjadi gereja, guna menampung para rohaniwan Katolik dari negara Tiongkok yang diusir oleh Pemerintah Komunis pada 1949. Ciri arsitektur Tionghoa yang dapat ditangkap adalah adanya atap Ian Boe Heng (ekor walet) dan dijaga oleh sepasang shi-shia (patung singa dari batu). Pada bagian atas gereja juga masih dipertahankan aksara Tionghoa "fu shou kang ning", yang artinya rezeki, umur panjang, kesehatan dan ketentraman yang merupakan filosofi Tiongkok kuno.
Memasuki gang Kali Mati, kami menemukan rumah A Kwet, seorang seniman kaligrafi Tionghoa, yang sempat bersembunyi di era Orde Baru, karena larangan menampilkan aksara Tionghoa, baru di era Presiden Abdurrahman Wahid, A Kwet berani terang-terangan membuka tokonya. Kaligrafinya cukup mahal harganya.
Gang Kali Mati merupakan sentral aneka pedagang makanan, mulai dari Kuo Tieh dan Se Bak (mengandung daging babi), sup pi oh tauco (berbahan bulus atau labi-labi), pedagang kancing hias, pedagang pia LauBeijing, pedagang makanan vegetarian, gorengan cempedak - ubi - pisang, Warung Mie Belitung, pedagang kue rangi, pedagang aneka buah-buahan, pedagang permen dan manisan khas Tionghoa serta Es Kopi legendaris Tak Kie.