Gaya hidup ini sekarang sedang trend, namun tidak mudah mengubah gaya hidup. Bahkan bagi mereka yang semula bekerja di kota metropolitan, lalu setelah pensiun ingin hidup secara slow living di kota yang menganut gaya hidup ini.
Banyak orang yang gagal dan merasa tidak betah. Paling lama betah selama tiga bulan, karena mindset sulit untuk dirubah. Bagi yang benar-benar serius ingin mengubah gaya hidupnya, harus sanggup merubah mindset.
Konsep gaya hidup slow living mengetengahkan kesederhanaan, ketenangan dan keberlangsungan  lingkungan hidup.
Prinsipnya mengenai kesderhanaan adalah tidak ambisius, hidup secukupnya, tidak mengejar materi / Kejayaan. Misal berkebun, menjual hasil kebun, dan hidup apa adanya dari hasil penjualan hasil kebun.Tidak ingin gawai terbaru atau mobil atau rumah mewah.
Kepeduliannya terhadap lingkungan hidup, dibuktikan dengan tidak membuang sampah sembarangan, namun sampah organik diolah menjadi kompos / pupuk, sangat menghargai sumber daya alam dan hidup bersahabat dengan alam.
Kehidupan sehari-hari dipenuhi dengan ketenangan dan kedamaian. Tidak ada yang memburu dan diburu. Hidup apa adanya, tidak pernah iri terhadap keberhasilan atau milik orang lain.
Hidup mandiri melalui hasil kebun (sayur dan buah-buahan) serta beternak (ayam, ikan, telur) guna mendapatkan protein. Hidupnya jauh dari nilai  konsumtif, seperti wisata ke luar negeri, membeli dan memakai barang bermerek, flexing, serta kegiatan yang serba konsumtif.
Hidup rukun bersama komunitas terbatas, seperti layaknya kehidupan di kampung atau di pedesaan. Hubungan kekerabatan sangat baik, saling menolong tanpa pamrih.
Hidup secara sederhana, makan dari hasil sendiri, dimasak sendiri jadi tidak mengandalkan restoran atau delivery seperti warga kota. Berpakaian sederhana, pantas dan bersih. Tidak memikirkan mode maupun harga pakaian yang dikenakan. Memiliki kebiasaan bekerja sendiri maupun bersama komunitas, misal untuk memperbaiki rumah, membuat saluran air bersih, kerja bakti membersihkan desa, dan lain-lain. Semua pekerjaan diusahakan dikerjakan sendiri atau bersama komunitas, tidak perlu memanggil tukang atau event organizer. Misal memperbaiki peralatan rumah tangga yang rusak, atau mengadakan kenduri.
Agar memiliki ketenangan, maka tidak tergantung pada peralatan digital, baik internet, gawai, naupun sosial media. Masih menggunakan namun terbatas. Tidak seperti warga kota metropolitan yang tidak bisa ketinggalan informasi (FOMO).