Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Novel (Bukan) Pasaran Terakhir dengan Gaya Penulisan Baru

22 November 2024   05:00 Diperbarui: 22 November 2024   08:52 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover buku (dokpri)

Beruntung, saya mendapatkan cetakan salah cetak, sehingga sudah bisa melahap isi novel terbaru karya Yon Bayu Wahyono. Dalam novel terbarunya ini, Kompasianer of The Year 2023 ini telah bereksperimen membuat gaya tulisan baru. Kalau lazimnya cerita flash back dituangkan dalam bab tersendiri, justru pada novel ini
menjadi bagian pada tulisan inti  Caranya menggunakan narasi sebuah surat, dimana tulisan dalam bahasa Indonesia baku  dicetak dalam format italic, sementara penulisan kata non bahasa Indonesia, seperti bahasa asing atau bahasa Jawa, justru dicetak dalam format biasa. Jadi merupakan kebalikan dari cara penulisan lazimnya.

Penulis minta novelnya dibedah, dan dikritisi hal-hal yang kurang tepat. Saya mencoba mengkritisi berdasar pengalaman saya sebagai auditor ISO (International Standard Organization) yaitu menemukan ketidak sesuaian, bukannya mencari-cari kekurangan.

Beberapa temuan yang saya dapatkan, setelah menyelesaikan membaca seluruh isi novel, dapat diuraikan sebagai berikut:

A. Temuan mayor

1. Penggunaan judul "(Bukan) Pasaran Terakhir" sepertinya kurang tepat. Novel romantis berlatar belakang politik ini, berani menyebutkan (Bukan), padahal belum ada kepastian izin penambangan gunung kapur dihentikan oleh Bupati. Memang sudah ada upaya untuk menghentikan penambangan gunung kapur, namun bila gagal, pasaran itu akan benar-benar menjadi pasaran terakhir.

2. Novel yang terdiri dari 11 bab ini, menurut saya bab 4 berjudul "Tumbal" terlalu dipaksakan. Karena dalam bab itu sama sekali tidak ada yang dijadikan tumbal

3. Penulis kurang memahami dunia aktivis kampus. Penulis memaksakan tokoh Kario sebagai tokoh yang egois dan tidak memahami perasaan orang lain. Dalam dunia aktivis kampus, seorang aktivis perempuan lazimnya mengagumi aktivis laki-laki yang berani tampil di depan dan pandai berorasi. Apalagi bila aktivis itu pernah membantunya hingga terpilih menjadi anggota Dewan.

4. Maaf bila sedikit berupa spoiler, akhir cerita biasa-biasa saja. Sudah banyak kita temukan pada novel / film terdahulu, tentang laki-laki yang harus mengejar cintanya guna membuktikan cintanya.
       
Sebaiknya cerita ditutup dengan kepiawaian Kario sebagai mantan aktivis dalam menumbangkan Bupati Riri, atau paling tidak berhasil membuat izin penambangan gunung kapur dicabut. Dengan cara ini, Kario pasti lebih mudah meraih simpati Ratri.Karena bakal sawahnya tidak akan kekeringan.

Namun penutup surat kepada Riri di halaman 139 harus diganti, karena disitu dituliskan Kario ragu akan berhadapan dengan Riri sebagai Bupati.

5. Bab 6 berjudul "Bayangan" terlalu berlebihan menggambarkan Riri ikut menduduki gedung DPR Senayan pada 1998 bahkan sempat diwawancara TV (halaman 96).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun