Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengejawantahkan Semangat Sumpah Pemuda dalam Kehidupan Sekarang

8 November 2024   10:26 Diperbarui: 8 November 2024   10:26 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber gambar: detik.com) a 


Sumpah Pemuda, sebuah peristiwa heroik yang berlangsung 28 Oktober 1928. Jauh lebih awal daripada saat Republik Indonesia  kemerdekannya secara resmi diproklamasikan  oleh Soekarno-Hatta.

Pada saat itu puluhan organisasi kepemudaan dari berbagai suku, seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Ambon, dan lain-lain, berkumpul dengan satu tujuan terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia.

Dalam sumpahnya, mereka bertekad untuk memiliki satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia.

Satu bangsa

Meski mereka berasal dari berbagai kalangan yang berbeda, namun mereka memikirkan kesatuan.

Mereka sama sekali tidak ingin nenonjolkan pulau asalnya, atau sukunya, atau agamanya, maupun bahasa daerahnya.

Justru karena niat mereka satu, Maka terbentuklah persatuan Indonesia. Kenapa pada kondisi sekarang sikap bersatu itu memudar ?

Pemuda sekarang dengan mudah terpecah menjadi kelompok yang eksklusif, baik berdasar agama, kesukuan atau ras, apalagi berdasar kemampuan ekonomi. Jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin makin nyata. Si kaya suka memamerkan kekayaannya, sementara si miskin hanya bisa gigit jari saja.

Kondisi sekarang diperparah dengan program marketing yang makin membuat jurang perbedaan itu makin menganga. Tempat belanja dan nongkrong yang eksklusif. Harga dan disain tempat yang cozy akhirnya membuat jarak. Yang kaya berkumpul dengan sesama kaya di mall dan gerai kopi kekinian, sementara si miskin hanya bisa berkumpul di pasar tradisional dan warung kopi sederhana.

Jelas isi kantong menjadi pembeda, antara segelas kopi seharga 40 ribu Rupiah dengan yang hanya 4 ribu Rupiah. Tempatnya juga berbeda yang satu  berkursi sofa dan berpendingin, sedang satunya hanya kursi atau bangku kayu tanpa pendingin ruangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun