Ayahnya paham, bahwa pendidikan itu penting, namun tekanan dari banyak pihak membuat sang ayah enggan mengabulkan permintaan itu.
Sebagai gantinya, Kartini minta izin untuk mendirikan sekolah bagi rakyat kecil di daerahnya. Sang ayah mengabulkan permintaan ini, maka Kartini segera terjun ke desa-desa bersama adiknya, Roekmini dan Kardinah.
Kabar tentang kiprah Kartini ini terdengar oleh Gubernur Jendral di Batavia, sehingga mengirim utusan untuk menyelidiki Kartini. Salah satu isteri utusan itu, Abendanon, sangat tertarik dengan Kartini yang dinilainya bertalenta.Menurut pandangannya, kepandaian Kartini  bahkan melebihi perempuan Belanda, jadi Kartini lebih maju dari perempuan Jawa lainnya. Kartini dinilai berpikir lebih maju di atas daya pikir rata-rata perempuan Indonesia di eranya.
Meski akhirnya Abendanon sudah pulang ke Belanda, ia masih berkorespondensi dengan Kartini. Surat-surat Kartini ke Abendanon berisikan ide-ide cerdas tentang perempuan, sehingga akhirnya diterbitkan menjadi buku dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Kemampuan menulis Kartini patut diteladani oleh kaum perempuan, bila mau sanggup menulis, maka harus rajin membaca, agar pikiran kita terasah, dan kita sanggup memberikan ide-ide baru berdasarkan referensi yang kita baca. Sebagai perempuan jangan melulu berkiblat pada dapur dan perawatan kecantikan saja, tetapi harus diimbangi oleh pendidikan, salah satunya dengan membaca dan menulis.
Pemerintah Hindia Belanda sangat mengkhawatirkan kiprah Kartini memberikan pendidikan kepada masyarakat. Bila masyarakat pandai, mereka bisa memberontak dan hal ini berbahaya bagi eksistensi mereka. Maka mereka menawarkan beasiswa untuk Kartini sekolah di Batavia guna menghentikan kegiatan belajar mengajar pada penduduk desa.
Kartini senang mendapatkan tawaran ini, namun lagi-lagi tidak disetujui ayahnya dengan alasan tradisi, apalagi Kartini sudah dipinang seorang Bupati ningrat.
Kartini yang mencintai ayahnya yang mulai sakit-sakitan, akhirnya menyetujui permintaan ayahnya dengan mengubur cita-citanya. Akhirnya Kartini pun menikah dengan Bupati itu.
Sayangnya, Kartini tidak berumur panjang, tak lama setelah menikah, ia pun meninggal dunia dalam usia muda.
Namun ide-ide Kartini tak pernah padam,
berdasar kumpulan surat-suratnya ke Abendanon yang sudah dibukukan membuka pikiran banyak perempuan Indonesia.
Film "Kartini" (2017) tetap menginspirasi perempua. indonesia meski merupakan remake dari film "Kartini" (1983).