Bila ditanya film nasional, apakah yang harus ditonton? Jawabnya pasti "Bumi Manusia".
Film besutan Falcon Pictures yang dirilis pada tahun 2019 ini tak pernah hilang dari kenangan. Apalagi menontonnya  pada hari terakhir di bioskop TIM yang saat ini sudah rata dengan tanah akibat revitalisasi kompleks Taman Ismail Marzuki.
Film yang diadaptasi dari biografi karya sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer, yang pernah dilarang beredar pada era Orde Lama ini disutradarai oleh Hanung Bramantyo, setelah berpindah-pindah dari satu sutradara ke sutradara lainnya.
Dengan menyaksikan film ini, kita dapat merasakan betapa sengsaranya bangsa Indonesia saat era kolonial. Perbedaan antar manusia yang satu menjadi tuan yang lain menjadi budak. Bahkan menjadi istri simpanan, di luarnya tampak megah, namun di dalam hatinya penuh hinaan.
Masyarakat juga tersekat dalam kasta antara ningrat dan rakyat biasa. Inilah politik memecah belah bangsa atau divide et impera yang dilakukan oleh bangsa  penjajah untuk membuat bangsa Indonesia terpecah.
Digambarkan betapa susahnya menjadi bangsa pribumi di tanah air sendiri harus mendapatkan perlakuan semena-mena. Selalu dicap salah, tidak dapat berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Berjalan di gedung pengadilan pun harus dengan cara merangkak.
Apalagi bila harus terlibat masalah asmara. Hubungan antara anak pribumi dengan anak orang asing merupakan aib yang harus disembunyikan bahkan dilarang.
Film ini diperankan dengan sempurna oleh Iqbal Ramadan, Mawar de Jongh dan Ine Febriyanti  Yang menggambarkan kegamangan tokohnya sebagai manusia Indonesia berpendudukan Eropa yang harus dipertahankan demi statusnya, atau harus membela tanah kelahirannya yang selalu direndahkan.
Film ini patut diapresiasi sebagai film nasional terbaik di masanya. Karena berhasil menggambarkan cerita biografi secara lengkap dengan tangkapan fotografi yang ciamik.
Melalui film ini kita diajak untuk menghargai kemerdekaan, karena dijajah sungguh membuat kita tidak layak dianggap manusia.Â