Sepuluh tahun yang lalu, penerbit mayor masih berani menerbitkan buku wisata. Saat bincang-bincang dengan seorang editor penerbitan mayor saya mendapatkan kisi-kisi baru.
Apakah itu?
Buku wisata sekarang sudah kalah populer daripada sosial media. Jadi buku wisata yang terlanjur dicetak, hanya akan jadi stock di gudang, karena tidak ada yamg menyentuhnya, apalagi membelinya, bila dipajang di toko buku. Para penulis buku wisata sama nasibnya dengan penulis buku kuliner, karena kepandaiannya disaingi oleh Youtuber.
Sekarang para Youtuber pada saat berwisata, membuat video perjalanannya. Setiba di rumah, ditambahkan narasi lalu diunggah di laman Youtube.Â
Misal calon wisatawan ingin pergi ke Labuhan Bajo, mereka tidak mencari buku tentang Labuhan Bajo, namun mengakses konten tentang Labuhan Bajo di Youtube. Jadi, sekarang mereka tidak sekedar menerima informasi saja secara tertulis, bahkan dapat melihat tampilan videonya. Hal inilah yang menyebabkan buku wisata ditinggalkan, alias tidak dicari lagi. Karena hanya menampilkan tulisan saja, sedangkan melalui Youtube mereka bisa mendapatkan informasi melalui narasi plus video destinasi yang akan mereka kunjungi.
Demikian pula halnya dengan buku kuliner, saat Covid merajalela, orang-orang yang hobi memasak tidak membeli buku kuliner, tetapi belajar melalui Youtube, termasuk resep dan cara memasaknya.
Lagi pula sekarang muncul aplikasi video pendek, Reels dan TikTok, makin banyak informasi tentang wisata dan kuliner yang diunggah via Reels dan TikTok.
Jadi, sekarang adalah masa suram bagi para penulis buku wisata dan kuliner. Kalau Anda menulis berdasar hobi dan untuk berbagi saja, cara termudah adalah menerbitkan sendiri dan memasarkannya sendiri. Karena penerbit mayor sekarang sudah tidak mau.lagi menerbitkan buku wisata dan kuliner.
Tentu saja oplagnya akan terbatas, karena hanya dipasarkan dari mulut ke mulut atau melalui atau group pesan singkat.
Semoga pengalaman ini bisa menyelamatkan waktu Anda yang berharga, dengan menulis buku genre lain.