Destinasi kedua Click Jelajah Cikarang adalah mengunjungi Taman Buaya Indonesia. Rupanya Taman Buaya ini adalah pindahan dari yang semula berlokasi di Pluit, Jakarta. Dipindahkan ,ke Cikarang sejak 1991.
Taman Buaya di Cikarang ini memiliki 6 kolam berisikan buaya asal Sumatera, buaya Kalimantan, buaya Papua, buaya putih (albino), buaya buntung (buaya tanpa ekor) dan anak buaya.
Pada bagian luar saat kita memasuki area Taman Buaya ini terdapat patung buaya raksasa yang bagus untuk berfoto, hendaknya patung ini juga dirawat, saat cat sudah mulai mengelupas. Demi keamanan pengunjung, tiap kolam dibatasi pagar besi setinggi 1,5 meter agar tidak terpeleset dan jatuh ke kolam.
Bahaya selalu ada, khususnya saat banjir melanda kawasan atau buaya yang melompat dari kandang. Itulah sebabnya pawang buaya selalu siaga.
Jumlah buaya ini awalnya sekitar 500 ekor, namun sekarang tinggal tersisa sekitar 350 ekor  buaya. Hal ini disebabkan pengelolanya dari swasta, sejak dikelola oleh anaknya kurang serius mengelola Taman Buaya ini, termasuk sedikitnya pengasuh dan perawat buaya serta atraksi berlangsung tidak tiap hari.
Sejak pandemi Covid-19 melanda dunia, Taman Buaya ini makin sepi, sehingga buaya hanya diberi makan, dua kali semnggu. Atraksi buaya yang bernama Joko Tingkir juga dioperasikan kadang-kadang. Padahal dulu ketika masih di Pluit, Jakarta, saat dikelola ayahnya Taman Buaya lebih terawat, atraksi berjalan lancar dan ada toko cindera mata berbahan kulit buaya.
Taman Buaya sekarang tampak seadanya, kurang terawat karena kurangnya personil. Juga bau amis menyeruak yang disebabkan banyaknya buaya yang mati dan terlambat disingkirkan karena minimnya personil.
Buaya air tawar dan buaya laut tidak boleh dicampur dalam satu kolam / kandang. Buaya air tawar akan kalah.
Menurut Warsidi, salah satu pawang buaya yang kami temui, banyak bercerita tentang kejayaan Taman Buaya yang pernah menjadi lokasi shooting film. Juga ada aroma mistis pada buaya putih karena pernah terdengar suara kakek tua batuk. Beberapa pengunjung yang percaya pada kesaktian buaya putih sering melakukan nazar. Bila permohonannya terkabul, misal akan menyerahkan sapi atau ayam untuk diberikan sebagai santapan buaya.
Sebagai satwa liar yang dapat hidup di dua alam, di air dan darat. Buaya termasuk satwa buas dan berbahaya. Setelah makan sering berjemur di darat.
Kadang satwa buas ini saling berkelahi untuk memperebutkan wilayah. Bila mereka berkelahi tidak hanya  menyabetkan ekor, tetapi juga mengadu moncong hingga berdarah. Dengan erangan gusar yang nenyeramkan bagi yang mendengarnya.
Kulit buaya sangat bagus bila disamak untuk dijadikan tas atau dompet, jadi sebaiknya Pemerintah Pusat, Peovinsi atau Kabupaten dapat mengambil alih pengelolaannya lalu mengupayakan  pelatihan penyamakan kulit, agar kulit buaya ini tidak sia-sia.Â
Bila dapat diberdayakan, pasti akan menjadi pendapatan tambahan untuk beaya perawatan Taman Buaya termasuk makan satwa. Atraksi buaya juga perlu dioperasikan pada waktu yang tepat dengan pemasaran yang masif agar buaya-buaya ini sanggup menghasilkan pendapatan guna memperbaiki perawatan yang saat ini dilakukan ala kadarnya. Daging buaya sebenarnya juga enak dimakan, asal ada chef yang pandai mengolahnya.
Jadi, selain sebagai tempat penangkaran buaya, tempat ini juga dapat menjadi sarana hiburan dan pendidikan.
Semoga 'buaya darat' atau istilah bagi laki-laki yang suka iseng tidak hanya menonton buaya pasif saja, sehingga menjadi guyonan bagi para pengunjung laki-laki, "buaya melihat buaya". Karena menurut tradisi Betawi, buaya justru lambang kesetiaan, terbukti roti buaya selalu ada saat proses seserahan pada menjelang pernikahan.
Sudahkah Anda  mengunjungi Taman Buaya? Berposelah bagaikan Crocodile Dundee di Taman Buaya Cikarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H