Sebagai satwa liar yang dapat hidup di dua alam, di air dan darat. Buaya termasuk satwa buas dan berbahaya. Setelah makan sering berjemur di darat.
Kadang satwa buas ini saling berkelahi untuk memperebutkan wilayah. Bila mereka berkelahi tidak hanya  menyabetkan ekor, tetapi juga mengadu moncong hingga berdarah. Dengan erangan gusar yang nenyeramkan bagi yang mendengarnya.
Kulit buaya sangat bagus bila disamak untuk dijadikan tas atau dompet, jadi sebaiknya Pemerintah Pusat, Peovinsi atau Kabupaten dapat mengambil alih pengelolaannya lalu mengupayakan  pelatihan penyamakan kulit, agar kulit buaya ini tidak sia-sia.Â
Bila dapat diberdayakan, pasti akan menjadi pendapatan tambahan untuk beaya perawatan Taman Buaya termasuk makan satwa. Atraksi buaya juga perlu dioperasikan pada waktu yang tepat dengan pemasaran yang masif agar buaya-buaya ini sanggup menghasilkan pendapatan guna memperbaiki perawatan yang saat ini dilakukan ala kadarnya. Daging buaya sebenarnya juga enak dimakan, asal ada chef yang pandai mengolahnya.
Jadi, selain sebagai tempat penangkaran buaya, tempat ini juga dapat menjadi sarana hiburan dan pendidikan.
Semoga 'buaya darat' atau istilah bagi laki-laki yang suka iseng tidak hanya menonton buaya pasif saja, sehingga menjadi guyonan bagi para pengunjung laki-laki, "buaya melihat buaya". Karena menurut tradisi Betawi, buaya justru lambang kesetiaan, terbukti roti buaya selalu ada saat proses seserahan pada menjelang pernikahan.
Sudahkah Anda  mengunjungi Taman Buaya? Berposelah bagaikan Crocodile Dundee di Taman Buaya Cikarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H