Memang tidak semua orang mengikuti secara rutin media sosial.Â
Namun seseorang yang terkena budaya pengenyahan bisa sangat dirugikan. Misal, bila terbaca oleh bagian HR atau personalia yang tidak bijak, posisi orang yang dienyahkan ini bisa diujung tanduk, karena dianggap pernah memberikan opini yang tidak dapat diterima oleh warganet lainnya.
Siapapun bisa pernah berbuat salah, semestinya masih layak mendapatkan kesempatan kedua, untuk memprrbaikinya. Â Namun bila budaya pengenyahan sudah terlanjur menempel, jejak digitalnya sangat berat. Bisa berdampak membunuh atau mengganggu karirnya dikemudian hari.
Bahkan seseorang yang pernah melakukan kesalahan dan sudah dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan, saat keluar dari penjara masih bisa mendapat hukuman dari publik, berupa "doxxing" dan "cancel culture". Â
Tidak diterima lagi bekerja dan harus dienyahkan. Padahal orang yang sudah menjalani hukuman penjara pasti membutuhkan pekerjaan guna menyambung hidupnya. Bila ia dienyahkan, dikawatirkan dia akan menjadi frustrasi dan bisa saja melskukan kejahatan berikutnya yang tidak diharapkan.
Sebaiknya masyarakat lebih bersikap bijak, dengan mau memberi kesempatan kedua, toh ia sudah menjalani hukuman. Yang penting harus selalu diawasi agar orang ini tidak mengulangi lagi perbuatannya di masa lalu. Orang yang sudah keluar dari penjara, diharapkan sudah menyadari kesalahannya dan berubah menjadi baik.
Jadi, sudah seharusnya warganet jangan langsung menjadi pengadilan kedua dengan menerapkan budaya pengenyahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H