Pada sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, kebebasan berpendapat atau berbicara atau berekspresi adalah kebebasan tanpa mengenal sensor atau pembatasan, tentunya asalkan kebebasan ini tidak disalah gunakan atau kebablasan dengan menyebarkan kebencian.
Saat ini, orang lebih banyak berpendapat secara tertulis melalui tulisan di media cetak, blog atau media sosial dan secara audio visual melalui kanal Youtube, IG TV atau Tik Tok. Namun  sebenarnya ada lagi sarana untuk menyampaikan pendapat, yakni melalui lukisan mural di ruang publik, seperti dinding penyangga jalan tol atau dinding terowongan.
Kebebasan berpendapat ini dijamin oleh Undang Undang yakni UU No.9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Dijelaskan pada pasal 1 ayat 1 bahwa warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pendapatnya melalui lisan, tulisan, video dan gambar.
Karena kebebasan berpendapat dan berekspresi ini termasuk bagian dari hak asasi manusia, seperti tertuang pada pasal 28 ayat (4) UUD 1945, dimana negara wajib melindungi kebebasan berpendapat.
Tentunya setiap warga negara saat menyampaikan pendapatnya wajib memperhatikan dan menjaga nilai-nilai serta norma-norma kesusilaan, hukum negara dan adat istiadat yang berlaku di dalam masyarakat serta memperhatikan hak orang lain.
Namun sebuah survei yang pernah dilakukan oleh Komnas HAM mengenai kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonsia justru menunjukkan tendensi kebebasan berpendapat dan berekpresi kian dibatasi.
Menurut survei ini, ditemukan masih adanya aparat penegak hukum yang belum memahami arti dari kebebasan berpendapat dan berekspresi, sehingga main tangkap atau menghapus ekspresi berupa lukisan mural.
Namun survei yang berlangsung pada tahun lalu ini masih menyiratkan optimisme karena 78% responden dari total responden 1.200 dari 34 provinsi ini menyatakan kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia masih wajar dan dilindungi oleh UU. Meski sisanya masih mengutarakan merasa kurang bebas dalam berpendapat dan berekpresi, khususnya bila mengkritisi kebijakan Pemerintah. Uniknya 18% responden merasakan kebebasan berpendapat dan berekspresi sudah terlalu bebas bahkan cenderung kebablasan.
Meski hasil survei Komnas HAM itu  hanya mampu menyajikan fakta kondisi hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi pada suatu waktu, tetapi salah seorang anggota Komas HAM menyatakan tendensi terjadi pelemahan kebebasan berekspresi.
Hal ini senada dengan pengamatan Amnesty International Indonesia, tercatat sepanjang tahun  2020, jumlah orang yang dihukum karena dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Pemerintah atau menyebarkan berita bohong meningkat. Khususnya melalui sosial nedia dan bukan melalui sarana mural.
Hendaknya kebebasan berpendapat dan berekspresi ini tidak berbenturan dengan Pemerintah, ormas maupun kebebasan orang lain. Namun sering kali terjadi, dilanggarnya etika komunikasi yang menyimpang dari nilai sosial dan ideologi negara karena merasa dirinya atau kelompoknya paling benar.
Mural
Mural dikenal sebagai lukisan yang terdapat di dinding, langit-langit atau di permukaan datar, cembung dan cekung yang biasanya berskala besar. Pemanfaatan mural sebagai media untuk menyampaikan pendapat atau berekpresi sering dimanfaatkan oleh segelintir seniman untuk  memasukkan ujaran kebencian dan fitnah sehingga membingungkan warga yang melihatnya, apakah informasi yang diekspresikan valid. Karena dirasakan munculnya tendensi yang agresif.
Sementara dari sisi Pemerintah, lukisan mural yang kurang tepat perlu dibatasi dan lukisan mural yang bermanfaat dibuka seluas-luasnya. Tentunya perlindungan ini bukan untuk membangun negara yang otoriter.