Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kendala Besar Memilih Pejabat dari WNA

5 Februari 2021   14:29 Diperbarui: 5 Februari 2021   15:48 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pejabat berasal dari Warga Negara Asing (WNA)? Pejabat di sektor bisnis atau pemerintahan? Kalau pejabat di sektor bisnis, saya sudah banyak mengenalnya. Sebut saja, pejabat dari perusahaan multi nasional seperti Microsoft, Google, Intel Corporation bahkan perusahaan nasional banyak yang memiliki pejabat berasal dari WNA. Baik warga negara Amerika Serikat, Kanada, Inggris, India, Jepang, Korea, Australia, Thailand, Malaysia atau Singapura dan negara lainnya lagi. Sebaliknya, juga banyak WNI yang menjadi pejabat di sektor bisnis di negara lain.

Kalau pejabat di sektor Pemerintahan sepertinya sulit, karena syarat yang harus dipenuhi harus sudah memiliki kewarganegaraan Indonesia atau WNI. Seorang WNI keturunan saja sulit untuk dapat dicalonkan sebagai pejabat di Pemerintahan, apalagi WNA. Kecuali WNA ini sudah mengajukan proses naturalisasi melalui Kementerian Kehakiman dan HAM. Tampang boleh WNA, tapi secara hukum dia sudah WNI.

Meski sudah memiliki status WNI saja menjadi pejabat di sektor Pemerintahan tidaklah mudah. Pertama dia harus sanggup mengenal budaya yang hidup ditengah masyarakat. Seorang dari suku Jawa saja, masih kesulitan memahami budaya suku Batak atau suku Papua, apalagi orang asing yang baru memiliki status WNI melalui proses naturalisasi.

Secara kemampuan manajemen dia boleh unggul, namun mempelajari dan memahami sebuah budaya itu perlu penghayatan yang cukup llama dan harus dibiasakan dengan sering berinteraksi. Belum lagi kendala bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa daerah lebih sulit dipelajari. Orang Indonesia asli yang sudah lama tinggal di Solo belum tentu menguasai 3 tingkatan bahasa Jawa, mulai dari ngoko, krama madya dan krama inggil, demikian pula WNI yang sudah lama tinggal di Bandung belum tentu fasih berbahasa Sunda, kecuali sering menerapkannya di lingkungan pergaulannya.

Belum lagi intrik antar partai politik, demokrasi di Indonesia yang belum matang sering kebablasan sehingga hampir setiap lima tahun sekali nyaris terjadi perpecahan frontal akibat Pilpres dan Pilkada. Sama-sama WNI saja, kalau sudah tidak suka, banyak sekali bertaburan isu hoaks yang sangat menyakitkan. Sesama WNI saja suasana begitu panasnya, apalagi bila yang menjadi pejabat dari WNA (meski sudah bernaturalisasi).

Pemahaman sosial budaya sedemikian rumitnya, jadi perlu hati-hati menetapkan pejabat Pemerintahan yang belum memahami sosial budaya warga yang dipimpinnya. Diperkirakan bakal terjadi benturan yang keras yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.

Bila masih ada WNI yang mampu, sebaiknya pilihlah pejabat WNI saja, daripada harus memilih pejabat dari WNA. Percayalah.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun