Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tiada Maaf Bagimu

22 September 2020   20:55 Diperbarui: 22 September 2020   21:15 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memaafkan (sumber: konsultansyariah.com)

Dalam kehidupan ini ada yang aneh. Begini kisahnya, ada teman saya yang agak ceroboh, suatu hari dia pergi ke tempat ibadah, saat orang-orang sedang khusuk berdoa, tiba-tiba ponselnya berdering keras sekali. 

Saking kagetnya, dia malah jadi panik, mencari tombol off atau silent tidak ketemu, sehingga dering ponsel berbunyi cukup lama, hingga petugas tempat ibadah mendatanginya dan menegurnya agar selama ibadah berlangsung ponsel harus dimatikan (off). 

Akhirnya dengan minta maaf, ia akhirnya dapat menon aktifkan ponselnya. Tetapi semua mata pengunjung tempat ibadah seakan tertuju padanya dan sorot matanya seakan menyalahkannya. 

Yang paling membuatnya sedih dan malu, ketika selesai beribadah banyak orang yang menegurnya bahwa dia telah mengganggu ibadah banyak orang. 

Celakanya lagi ketika dia bercerita kepada isteri dan anaknya dia juga menerima omelan. Akhirnya dia frustrasi dan memutuskan untuk tidak pergi lsgi ke tempat ibadah.

Karena tidak pergi ke tempat ibadah dia malah pergi mengunjungi sebuah bar di kotanya. Karena dia baru pertama kali mengunjungi bar, maka dia belum tahu cara menuang bir ke dalam gelas dengan benar. Akibatnya, bir luber membasahi meja dan lantai bar tersebut. 

Tiba-tiba seorang waiter atau waitress mendatangi mejanya sambil tersenyum dan membersihkan meja serta mengepel lantai, tanpa menegur atau memarahinya. Bahkan manager bar tersebut mendatanginya dengan membawa sebotol bir baru lalu mengajarinya cara menuang bir yang benar ke dalam gelas sambil tersenyum ramah tanpa menyalahkannya. Akibatnya, dia akhirnya sering mengunjungi bar itu, karena merasa diterima.

Mengapa terjadi kontradiksi, tempat ibadah yang banyak dikunjungi orang alim dan konon suci malah mereka tidak menerimanya dengan tulus, sebaliknys bar yang konon tempat maksiat justru menerimanya dengan tulus. Seharusnya pengunjung tempat ibadah lebih tulus memaafkannya dan mau menerimanya dengan tangan dan hati terbuka. Mengapa justru bar lebih tulus memaafkannya dan bisa menerimanya apa adanya?

Bila kita berkaca pada kisah di atas, sebaiknya sebagai orang yang sering berkunjung ke tempat ibadah dapat menerima orang yang melakukan kesalahan secara terbuka dan cepat memaafkannya agar tempat ibadah tidak kehilangan seorang pengunjung setianya. Belajar dari cara layanan pada sebuah bar tidak terlalu memalukan mestinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun