Mungkin selama ini banyak stigma yang salah, gara-gara orang terlalu banyak mendongak ke atas, tetapi kurang menundukkan kepala melihat ke bawah.Â
Gara-gara beberapa orang Tionghoa menjadi konglomerat atau menjadi orang nomer sekian terkaya di Indonesia atau pembayar pajak terbesar, maka muncullah stigma bahwa orang Tionghoa itu pasti kaya. Bahkan yang lebih runyam ada yang menuduh menguasai perekonomian Indonesia.
Tunggu dulu, stigma itu dapat dipatahkan bila Anda mau melihat ke bawah. Dalam perjalanan dari Pontianak ke Kuching di bagian Barat Kalimantan, saya melihat banyak perkampungan Tionghoa miskin.Â
Di Bagansiapi-api Sumatera, banyak cukong-cukong kapal nelayan, tetapi banyak pula orang Tionghoa yang menjadi nelayan miskin. Demikian pula di desa Gudang Lumut, Belinyu, Kepulauan Bangka-Belitung, terdapat kawasan Tionghoa miskin yang rumahnya sering kebanjiran.Â
Dan yang paling dekat dengan ibukota Republik Indonesia Jakarta adalah Tangerang, tepatnya di desa Sewan, dekat dengan bandara Soekarno Hatta terdapat pemukiman miskin Tionghoa yang dikenal dengan sebutan Cina Benteng.
Cina Benteng
Asal muasal Cina Benteng diduga berasal dari imigran asal Tiongkok yang mendarat pada sekitar tahun 1407 di daerah Teluk Naga, Tangerang. Imigran berikutnya di duga kebanyakan merupakan keturunan dinasti Qing dan tinggal di dekat benteng yang di bangun Belanda di tepi sungai Cisadane guna mencegah serangan dari Kesultanan Banten ke Batavia.
Kebanyakan Cina Benteng hidup bertani, berladang, menjadi nelayan dan kerja serabutan karena mereka berpendidikan rendah, bahkan bisa bersekolah saja sudah suatu anugerah yang patut disyukuri.Â
Jadi, mereka tidak mungkin dapat mengenyam kerja kantoran karena tidak memiliki ijasah pendidikan tinggi juga banyak yang belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Upaya mendaftarkan mereka ke Dukcapil hanya dilakukan oleh LSM yang peduli atau menunggu keriuhan politik lima tahunan bila menjelang pilleg, pilpres dan pilkada, ada beberapa caleg yang peduli mengurus KTP mereka dengan harapan mampu mendongkrak pundi-pundi suara mereka. Selesai keriuhan politik, upaya pengadaan KTP kembali padam.
Ciri fisik mereka sebagai bangsa Tionghoa hampir sirna, paling yang tersisa hanya mata sipit. Kulit kuning sudah berubah menjadi hitam akibat terbakar sinar matahari di sawah, ladang atau laut. Namun budaya Tionghoa masih kental disini, jauh berbeda dengan Tionghoa kota besar yang sudah beralih menjadi penganut Nasrani yang sudah 70% meninggalkan budaya leluhur.Â