Di kalangan Cina Benteng juga sudah banyak yang beralih agama, baik Nasrani maupun Islam. Mereka juga masih mempertahankan perkawinan adat Manchu dan kesenian Cokek, akulturasi budaya Tionghoa-Betawi. Serta masih mengenakan pakaian adat yang terpengaruh budaya Betawi seperti baju koko untuk kaum pria dan pakaian hwa-kun dan kebaya encim bagi kaum wanitanya yang dipadukan dengan hiasan kembang goyang.
Imlek di Tangerang
Meski rumah mereka ala kadarnya ada yang berdinding setengah tembok dan sisanya terbuat dari kayu atau bambu saja, namun ornamen Imlek selalu dipasang saat Imlek seperti lampion merah.Â
Altar sembahyang juga penuh sajian untuk disajikan pada leluhur, baik altar sembahyang asli maupun meja yang ditutup taplak lalu dirubah menjadi altar sembahyang. Pada umumnya mereka masih memegang kuat kepercayaan Confisius atau Konghucu, walaupun ada sebagian yang sudah menganut agama Buddha.
Bau asap dari hio tercium pada hampir setiap rumah, penghuniya mengenakan baju baru atau paling tidak baju bersih terbaik yang dimilikinya. Atau bagi yang beruntung mendapat bantuan pakaian layak pakai dari organisasi atau komunitas yang mengadakan bakti sosial menjelang Imlek. Selain pakaian layak pakai, seringkali mereka mendapatkan paket sembako dan angpao (amplop merah berisi uang).
Ada kalanya komunitas yang memberikan "kail" tidak selalu "ikan", misalnya dengan mengajarkan ketrampilan kepada ibu-ibu untuk membuat kalung untuk aksesories yang dapat dijual untuk menambah pendapatan keluarga.
Menurut penjelasan salah seorang warga dari hasil bertani atau berladang dan kerja serabutan mereka hanya mampu menghasilkan 3 juta Rupiah sebulan masih lebih rendah dari UMR Kota / Kabupaten Tangerang. Itulah sebabnya mereka masih harus hidup dibawah garis kemiskinan.
Meski dalam kondisi miskin, mereka tetap tidak melupakan budaya nenek moyangnya. Puncaknya adalah perayaan Imlek atau awal musim semi. Mereka bersembahyang dan berdoa kepada Tuhan (Thian), Dewa-dewa atau Toapekong dan leluhur agar diberikan rezeki dan kebahagiaan di tahun mendatang.
Satu-satunya harapan utama mereka adalah bisa terus menempati rumah gubuk yang telah ditempati turun temurun selama ratusan tahun. Tanpa harus digusur karena mereka tidak pernah mengurus hak kepemilikan tanah tempat tinggal mereka, selain itu karena tempat tinggal mereka berada di DAS Ciliwung yang menurut peraturan Pemda terbaru dilarang untuk ditinggali.