Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Makanan Jalanan atau Makanan Restoran, Pilih Mana?

23 Februari 2017   07:45 Diperbarui: 23 Februari 2017   22:00 2250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
OJ Cafe, salah satu Restoran (Dok Pri)

Bila Anda sedang jalan-jalan di kota Gorontalo, dan Anda melihat asap putih membumbung tinggi ke angkasa. Itulah tanda tempat penjual ilabulo, sebuah makanan jalan (street food) yang paling populer di Gorontalo. Ilabulo adalah camilan berbahan tepung sagu dengan isi telur dan hati ayam yang dibungkus daun pisang, yang dibakar di atas bara dari batok kelapa.

Di Thailand dan Vietnam, Anda juga banyak menjumpai pedagang makanan jalan, khususnya makanan tradisional seperti tom yam gong (Thai) dan pho (Vietnam). Di mal-mal kota Jakarta, Anda juga dapat dengan mudah menemukan restoran makanan khas Indonesia, seperti Remboelan, Tesate dan Sate Khas Senayan, maupun yang tersebar di jalan-jalan utama, seperti Bhinneka (Padang), Dapur Sunda, Kafe Betawi dan Beautika (Manado). Restoran-restoran ini menjajakan menu makanan khas Indonesia dari Sabang sampai Merauke, atau fokus pada kuliner daerah tertentu.

Makanan Jalan

Pada umumnya makanan jalan dibangun oleh pengusaha kecil. Mereka menjajakan makanannya di tempat terbatas, di depan toko yang tutup bahkan di pinggir jalan. Bagi pengusaha yang memiliki modal yang cukup besar, kios dan ruko tentunya jadi pilihan tempat yang tepat, apalagi jika dipercantik dengan dekorasi yang khas, unik dan menarik.

Dari segi penampilan dan rasa, makanan jalan dapat juga diacungi jempol, karena kelezatan rasanya dan penataannya yang tidak kalah dengan makanan hotel, sehingga sangat mengundang selera. Sedangkan dari sisi harga, makanan jalan jelas lebih murah, karena belum ditambah pajak restoran dan jasa layanan (service).

Sementara untuk sisi kebersihannya, makanan jalan juga tidak selalu kalah, walau masih ada pengusaha makanan jalan yang kurang peduli dengan kebersihan, sehingga sering muncul stigma makanan jalan kurang higienis. 

Ilabulo, Makanan Jalan Khas Gorontalo (Dok Pri)
Ilabulo, Makanan Jalan Khas Gorontalo (Dok Pri)
Pangsa pasar makanan jalan tidak terbatas dari kalangan bawah, menengah sampai atas juga dapat diambil. Konsumen dari profesional muda, keluarga (family) hingga pensiun juga mampu diraih. Apabila mampu dioperasikan dengan baik, makanan jalan juga bisa naik kelas ke arah restoran/cafe, sebut saja Bebek Kaleyo dan Steak Abuba yang bahkan berhasil membuka cabang dengan cepat dengan memanfaatkan prinsip waralaba.

Sebuah mal kondang di Jakarta Utara malah memiliki event tahunan bertajuk Jakarta Street Food Festival, yang menggelar makanan jalan dari Indonesia maupun mancanegara. Salah satu terobosan dari penjaja makanan jalan adalah dengan mengadopsi gaya jualan orang Amerika, yakni food truck. Kalau mulanya berasal dari kendaraan yang dimodifikasi menjadi tempat berjualan makanan, kini bahkan sudah ada karoseri yang khusus menerima pesanan food truck.

Food truck lazimnya mendatangi pusat keramaian, seperti pameran akbar, kawasan Car Free Day, mal dan acara Fun Walk/ Fun Run/ Fun Bike. Peran kaum muda yang berminat meramaikan dan bersaing di kancah kuliner Indonesia seirama dengan semangat saatnya pegang kendali milik Danamon saat ini. Guna mendapatkan investasi yang cukup besar, kaum muda tidak perlu khawatir, mereka dapat menjalin kerja sama dengan Bank. Semoga dengan adanya simbiosis antara tekad dan inovasi dari kaum muda dan dukungan finansial dari perbankan akan semakin meningkatkan bisnis kuliner Indoenesia. Di satu pihak kuliner khas atau asli Indonesia terjaga dari kepunahan, juga kaum muda mendapatkan peluang bisnis guna mengembangkan inovasi-inovasi cerdasnya.

Makanan Restoran

Pemilihan lokasi juga sangat menentukan tingkat keberhasilan usaha kuliner seperti restoran. Pemilihan menu makanan untuk mengantisipasi pesaing juga faktor yang perlu dipertimbangkan pada saat ingin memulai bisnis restoran.

Pangsa pasar yang mau digarap sangat dipengaruhi oleh desain interior restoran. Untuk pasar professional muda, konsep café kekinian yang nyaman, biasanya lebih disukai. Sedangkan untuk pasar keluarga, konsep restoran semi formal hingga formal lebih diminati. Bahkan untuk merayu anak-anak, ada restoran yang menyediakan ruang bermain maupun paket anak-anak (kid’s menu).

OJ Cafe, salah satu Restoran (Dok Pri)
OJ Cafe, salah satu Restoran (Dok Pri)
Faktor kenyamanan pelanggan sangatlah diutamakan. Bahkan daftar menu perlu dicetak sebagus mungkin. Cara pemesanan makanan menggunakan cara unik, misal memesan dengan menekan tombol i-pad. Desain interior dibuat menarik, seperti bengkel, rumah sakit, penjara atau arena bermain (play ground).

Salah satu restoran di Kuala Lumpur, memiliki konsep yang unik, yakni restoran tanpa penerangan. Masih ada lagi restoran Thai Alley, restoran Thai dan The People's Cafe dari kelompok bisnis Ismaya, yang membuat dekorasi ala makanan jalan. Sungguh kontradiktif bukan?

Untuk membuka restoran agar diminati calon pelanggan, kaum muda harus pandai-pandai mencari suatu diferensiasi. Faktor kenyamanan lainnya diciptakan melalui kemudahan pembayaran, pelanggan restoran dapat membayar dengan menggunakan kartu kredit  atau kartu debit sebagai alat pembayaran.

Mana Lebih Baik?

Tidak ada cara penilaian yang dapat menentukan mana yang lebih baik. Karena keduanya memiliki sisi positif dan negatifnya masing-masing.

Makanan jalan memiliki kelebihan mampu meraih hati pelanggan, bahkan bila seseorang rindu dengan makanan jalan tertentu, mereka tidak segan melakukan pemesanan dan dikirim melalui kurir. Contoh paling mudah, ilabulo banyak dikirim ke luar kota Gorontalo.

Perantau asal Medan atau Semarang, bila mudik, tidak segan mereka berburu makanan jalan yang pernah mereka kenal di masa muda. Makan soto di tempat tanpa alat pendingin tak jadi soal karena makin berkeringat makin asyik dan nikmat.

Kefanatikan seseorang terhadap makanan jalan selalu lebih tinggi ketimbang kesetiaan seseorang pada sebuah makanan restoran. Sebagai contoh, bila seseorang ingin makan ayam goreng di restoran siap saji KFC, bila restoran tersebut sedang penuh, orang dengan mudah pindah ke restoran KFC di tempat yang lain.

Bedanya, seseorang yang sedang ingin makan soto Bokoran di Semarang, ia rela antre berjam-jam di tempat yang sama, menunggu mendapatkan tempat duduk atau kembali lagi keesokan harinya. Restoran pada umumnya memiliki jadwal buka yang standar, sedangkan makanan jalan lebih tergantung pada mood pedagangnya.

Kita tidak perlu menjustifikasi mana yang lebih baik, makanan  jalan atau makanan restoran, karena masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Jadi, mari kita dukung, sambil menikmati kelezatan keduanya. Kini saatnya kaum muda pegang kendali untuk mengembangkan kuliner Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun