Sebentar lagi tahun baru Imlek tiba, tepatnya tanggal 8 Februari 2016 pada kalender Masehi.
Ternyata masih banyak orang Tionghoa, khususnya generasi muda yang tidak terlalu memahami budaya Tionghoa. Ada tiga hal penting yang perlu diketahu, khususnya bagi generasi muda Tionghoa, yaitu soja, ucapan dan angpao, semoga tulisan ini bermanfaat.
Salah satu yang banyak dilakukan pada saat merayakan Imlek adalah melakukan soja, namun banyak yang melakukan dengan kurang benar. Dalam bahasa Mandarin, soja disebut gongshou yang dalam dialek Hokkian disebut kiongchiu (ejaan lama kiongtjhioe), seringkali disebut dengan istilah pai.
Cara soja yang benar berdasarkan pedoman seharusnya “Yang” memeluk “Yin” atau tangan kanan dikepal kemudian tangan kiri menutupi tangan kanan dan ibu jari harus berdiri lurus, dan menempel keduanya.
Ada beberapa tingkatan soja, yang tertinggi adalah soja kepada Tuhan (Thian) harus di atas kepala. Soja kepada para dewa harus sejajar dengan mata, dilakukan oleh para penganut agama Buddha atau aliran kepercayaan Konghucu di Vihara atau Kelenteng.
Soja kepada orang yang lebih tua dilakukan dengan mengangkat sejajar mulut. Soja kepada yang seumuran atau sepantar sejajar dengan dada. Sedangkan soja kepada yang lebih muda sejajar dengan perut.
Pada era 1900-an di hari raya Tahun Baru Imlek, anggota keluarga saling mengucapkan “Sin Cun Kiong Hie” (Xin Chun Gong Xi) yang berarti selamat menyambut musim semi atau selamat tahun baru.
Kini di abad 20 ucapan sudah berubah dengan ucapan yang lebih cenderung mengacu pada kesejahteraan duniawi yakni “Gong Xi Fa Cai” atau (Kiong Hie Hoat Tjay) yang artinya semoga sukses selalu atau selamat jadi kaya.
Bagi mereka yang ingin mengucapkan selamat Tahun Baru Imlek dengan kalimat yang lebih tepat sebaiknya menggunakan: “Gong Xi Fa Cai - Wan Shi Ru Yi - Shen Ti Jian Kang”, yang artinya: "Semoga sukses selama-lamanya dan selalu dalam keadaan sehat".
Tradisi Tahun Baru Imlek selalu dikaitkan pula dengan pemberian angpao. Kata angpao (hongbao) itu sendiri berasal dari dialek Hokkian yang arti harfiahnya adalah bungkusan atau amplop merah. Warna merah itu dalam budaya Tionghoa berarti lambang warna pembawa keberuntungan (hokkie) maupun kegembiraan.
Angpao bukan hanya diberikan pada saat Tahun Baru Imlek saja, melainkan lazim juga diberikan pada saat pesta pernikahan, masuk rumah baru, ulang tahun, maupun acara-acara pesta lainnya.
Yang berkewajiban memberi angpao pada umumnya orang yang telah berkeluarga, sebab dalam budaya Tionghoa, pernikahan itu merupakan batasan antara masa kanak-kanak dan dewasa. Disamping itu orang yang telah menikah, kebanyakan secara ekonomi pasti sudah jauh lebih mapan daripada yang belum menikah. Walaupun demikian bagi mereka yang belum menikah, tetapi sudah memiliki aras ekonomi yang kuat (jomblo tajir) bila ingin juga turut memberikan angpao, maka sebaiknya uang tersebut diberikan tanpa menggunakan amplop merah.
Jumlah uang yang ada dalam sebuah amplop angpao bervariasi. Untuk perhelatan yang bersifat suka cita biasanya besarnya dalam angka genap, sedangkan angka ganjil untuk kematian.
Angka “empat” sering berkonotasi ketidakberuntungan, karena pelafalan angka empat (shi) memiliki arti “mati” (shi wang). Jumlah uang dalam amplop angpao selalu menghindari menggunakan angka empat. Jangan mengisikan 4 lembar uang @ Rp.10.000,-
Sebaiknya dianjurkan menggunakan angka delapan (8) yang terasosiasi untuk keberuntungan. Pelafalan angka delapan (8) berarti “kekayaan”. Maka jumlah uang dalam amplop angpao seringkali merupakan kelipatan delapan (8). Misal 8 @ Rp.10.000,- atau 8 @ Rp.5.000,-
Kewajiban memberi angpao bukan terhadap anak-anak saja, melainkan juga kepada orang yang dituakan. Pemberian angpao pada hari raya Tahun Baru Imlek sebenarnya mempunyai makna yang lebih dikenal dengan sebutan “Ya Sui” yang berarti hadiah untuk anak-anak dalam rangka pergantian tahun maupun pertambahan usia.
Tradisi Ya Sui ini sudah dikenal sejak era dinasti Ming dan Qing. Karakter Sui dalam Ya Sui berarti “umur”, dan ini sebenarnya mempunyai lafal yang sama dengan karakter Sui lainnya yang berarti “bencana”. Jadi, Ya Sui ini bisa juga diartikan sebagai simbol atau lambang untuk penangkal bencana, dengan harapan anak-anak yang mendapatkan hadiah Ya Sui tersebut akan terlindungi selama setahun mendatang dengan tanpa adanya gangguan penyakit maupun bencana.
Kalau ditelusuri dengan benar, pemberian angpao ini baru dikenal saat uang mulai digunakan dan baru menggunakan uang kertas pada era dinasti Song dan uang kertas tersebut baru benar-benar menyebar luas secara resmi pada era dinasti Ming.
Nominal uang kecil yang beredar di Tiongkok pada mulanya masih dalam bentuk koin perunggu yang diberi lubang segi empat di tengahnya dan ini lebih dikenal dengan nama Wen atau Tongbao.
Koin-koin yang akan dihadiahkan tersebut sebelumnya diikat terlebih dahulu menjadi untaian uang dengan menggunakan tali merah. Orang-orang kaya memberikan untaian uang sampai 100 koin, sebab melambangkan umur panjang.
Angpao bukan dinilai dari besar kecilnya, melainkan ketulusan hati si pemberi yang berisi doa dan harapan kepada yang menerima angpao.
Gabungan ke tiganya terwujud pada saat Hari Raya Tahun Baru Imlek tiba, pada pagi hari anak-anak mandi atau dimandikan oleh orang tuanya, lalu berpakaian baru atau minimal yang paling bersih dan pantas, lalu anak-anak mulai melakukan soja kepada orang tua, sambil mengucapkan Gong Xi Fa Cai, dan orang tua menyerahkan angpao kepada anak-anak. Pada saat Imlek, biasanya anak-anak juga berkunjung ke kakek-nenek, paman-bibi dan tetangga yang lebih tua, melakukan soja dan mengucapkan Gong Xi Fa Cai serta menerima angpao.
*) disarikan dan dikumpulkan dari berbagai sumber hikayat Tionghoa yang berkembang di masyarakat Tionghoa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H