Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Emotional Intelligence, Antara Sekolah "Knowing" vs Sekolah "Being"

7 Juli 2015   19:28 Diperbarui: 7 Juli 2015   19:28 2864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada kisah seorang anak yang kurang suka dengan matematika. Anak ini selalu penasaran dan menanyakan ke beberapa guru matematika manfaat dari kerumitan matematika dan merasa tidak pernah menemukan jawaban yang memuaskan. Pasti matematika perlu, tetapi para guru sendiri tidak bisa menjelaskan manfaatnya.

Di SD dia mendapat soal untuk menghitung waktu tempuh. Soalnya diilustrasikan sebagai berikutb: Ali  pergi ke kolam renang jam 7, Budi  pergi ke kolam renang jam 9. Diminta mencari jam berapa mereka bertemu. Anak ini menjawab: "koq susah-susah amat, tinggal call saja janjian jam berapa mau ketemu". Tanpa perlu adanya matematika.

Contoh soal lain tentang perhitungan umur: umur anak setengah umur ayah,  diminta hitung umur ayah berapa. Jawab anak ini: "saya tidak perlu menghitung susah-susah, saya tinggal pinjam ktp Bapak saya  dan dari tahun lahirnya bisa diketahui umurnya".

Kita tahu  soal-soal matematika disajikan di sekolah pasti untuk melatih logika, namun bagaimana dengan anak yang tidak suka matematika? Dan anak itu mempunyai prinsip aku sekolah tidak mencari nilai, aku cari kepintaran. Jadi kalau pelajaran yang diterima tidak membuat dia pintar, peduli amat dia tidak akan berusaha keras. Dia hanya akan mematuhi rambu-rambu yang diberikan orang tuanya, agar tidak gagal saja, karena kalau gagal bosannya akan lebih lama (karena harus mengulang, dengan tidak naik kelas).

Sistem Pendidikan

Suatu hari saya kedatangan seorang teman dari Eropa. Saya mengajak teman itu melihat-lihat obyek wisata kota Jakarta. 

Pada saat menyeberang jalan, teman saya ini selalu berusaha mencari zebra cross. Berbeda dengan saya dan orang Jakarta lainnya, dengan mudah menyeberang di mana saya suka. Teman saya tetap tidak terpengaruh oleh situasi. Dia terus mencari zebra cross setiap kali akan menyeberang. Padahal di Indonesia tidak setiap jalan dilengkapi dengan zebra cross.

Yang lebih mengenaskan, meskipun sudah ada zebra cross, tetap saja para pengemudi tancap gas, tidak mengurangi kecepatan, guna memberi kesempatan pada para penyeberang jalan. Teman saya geleng-geleng kepala mengetahui perilaku bangsa kita.

Akhirnya saya coba menanyakan pandangan teman saya ini mengenai fenomena menyeberang jalan tadi.

Saya bertanya apa kira-kira penyebab orang-orang di negara Indonesia menyeberang tidak pada tempatnya, meskipun mereka tahu bahwa Zebra Cross adalah tempat menyeberang jalan yang aman.

Sementara dia selalu konsisten mencari zebra cross meskipun tidak semua jalan di negara Indonesia dilengkapi dengan zebra cross.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun