Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bangunan Bersejarah : Kenapa Dibiarkan Merana?

7 Juni 2014   18:51 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:49 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila Anda melintasi jalan antara Bojong Gede—Cibinong—Gandaria, Anda akan menemukan sebuah tempat bersejarah yang nyaris tidak dikenal oleh masyarakat Indonesia, bahkan oleh penduduk kawasan Depok sendiri.

Lokasi tempat bersejarah ini adalah sebuah jalur berupa sepenggal jalan tua dan legendaris sebagai penghubung Batavia (Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor) yang telah ada sebelum Marsekal Herman Willem Daendels memerintahkan membangun De Grote Posweg atau Jalan Raya Pos antara Anyer sampai Panarukan yang kebetulan melewati jalur ini.

Sebagai jalur utama dimasa itu, pastilah jalan ini menyimpan sejarah yang penting bagi perjalanan panjang negeri ini, khususnya peninggalan berupa bangunan tua bercita seni tinggi.

Rumah Tuan Tanah Cimanggis


Adalah sebuah rumah yang terletak di Km 34 Jalan Raya Bogor dari arah Jakarta, tidak jauh dari Pasar Cimanggis. Untuk menemukan rumah ini memang agak sulit, karena rumah ini berada agak diluar jalan raya. Rumah ini berjarak sekitar 1 Km dari Jalan Raya Bogor dan berada di dalam Kompleks RRI Cimanggis. (Referensi : Buku “Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta”, Adolf Heuken).

Dari jalan raya, rumah tuan tanah itu sebenarnya sudah kelihatan atapnya, karena bentuk fisik atap rumah itu jauh berbeda dibandingkan atap-atap bangunan sekitarnya. Selain bentuknya yang unik, seperti segitiga yang terpancung bagian atasnya, ukurannya pun jauh lebih besar dibandingkan atap rumah lainnya. Kawasan ini sekarang sangat gersang, meski dulunya kawasan ini merupakan perkebunan yang luas, dengan pohon-pohon lebat menutupi permukaan tanahnya.

Halaman rumah tuan tanah Cimanggis ini dipagari tembok batako, sementara di beberapa sudutnya telah tertutup rumput alang-alang. Rumah tuan tanah Cimanggis berdiri dengan gagahnya selama beberapa abad di kawasan itu, kini tetap tampak besar dan kokoh meski tidak menutupi kerentaannya. Atapnya yang berwarna merah terakota berupa genteng tanah liat terlihat luar biasa besar, apalagi jika dibandingkan dengan atap rumah masa kini.

Meskipun sepintas masih terlihat utuh, namun bila Andamengamati lebih teliti akan terlihat lubang menganga di sana-sini, sedangkan kondisi atap yang menutupi serambi belakang rumah terlihat runtuh di beberapa bagian karena kondisi kayu yang menopangnya telah lapuk oleh air hujan.

Bila Anda berjalan mengelilingi halaman rumah tuan tanah Cimanggis dari samping kanan rumah menuju ke halaman belakang, akan tampak semak-semak dan pepohonan tidak terawat tumbuh di sekelilingnya. Tanaman-tanaman ini amat mengganggu arah pandangan Anda ketika mengamati bagian eksterior rumah. Sedangkan serambi yang mengelilinginya sekarang telah ditutup dengan batako, seng dan kayu di beberapa bagian dan terpasang secara asal-asalan, sehingga kesan totalnya berantakan.

Bagian teras depan rumah tuan tanah Cimanggis ini ditopang beberapa pilar dari batu bata berbentuk silinder dan beberapa diantaranya berdiri berpasangan dekat pintu utama, yang memberi kesan kekokohan rumah ini. Bagian atas pintu utamanya berhiaskan ukiran halus bermotifkan jambangan bunga yang sekaligus berfungsi sebagai lubang ventilasi. Semua jendela di rumah ini berbentuk serupa, baik yang menghadap ke luar rumah maupun yang menghubungkan antar ruangan, dengan lengkungan di bagian ujungnya dan dapat didorong ke atas. Bentuk jendela seperti ini sangat lazim pada masa itu.


Kondisi di dalam rumah juga tidak kalah menyedihkan dibandingkan bagian luar. Lantai dengan ubin abu-abu saat ini dipenuhi puing-puing dan sampah berserakan di mana-mana. Bagian dinding dan kusen pintu / jendela tampak kusam karena diselimuti debu dan sarang laba-laba, diperparah pula dengan grafiti para vandalis. Di bagian langit-langit terlihat banyak lubang menganga, sepertinya air hujan yang masuk dari celah genting bocor sangat berperan besar menambah laju kerusakan bagian ini.

Bagian interior rumah ini, khususnya bagian ruang utama sangat cantik. Tembok ruangan yang tinggi serasi benar dengan bentuk jendela dan pintu yang menghubungkan antar ruangan. Bagian atas pintu menuju ruangan utama dihiasi ukiran bermotif figur malaikat. Kolom-kolom dindingnya pun dihias di bagian kepalanya dengan hiasan bergaya klasik serta dipermanis dengan profil. Jarak lantai dengan langit-langit yang tinggi membuat suasana ruangan terasa sejuk. Bangunan seperti ini memang merupakan ciri khas dari rancangan khusus untuk rumah-rumah Eropa di daerah tropis.

Orang Belanda menyebut gaya rumah seperti ini dengan istilah Indisch Woonhuis yang berarti Rumah Tinggal Hindia (Belanda). Dapat dibayangkan dulu ruangan ini, pasti dipenuhi perabotan artistik yang mahal harganya.

Rumah tuan tanah Cimanggis ini dibangun oleh David J. Smith antara tahun 1775 sampai tahun 1778 untuk menggantikan sebuah pesanggrahan sederhana. Pemiliknya adalah janda dari Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra, seorang wanita kaya raya. Setelah wanita ini meninggal pada tahun 1787, Smith mewarisi rumah beserta perabotannya dan sejumlah perkebunan luas di sekitarnya.

Karena kesalahan dalam strategi bisnisnya, akhirnya Smith harus rela melepaskan rumah beserta tanah perkebunan guna melunasi hutang-hutangnya. Rumah ini pun selanjutnya berganti-ganti pemilik. Rumah tuan tanah Cimanggis pernah mengalami kerusakan parah ketika terjadi gempa bumi dahsyat pada tahun 1834. Bukan hanya rumah ini saja yang mengalami kerusakan, tetapi rumah tuan tanah yang lain di sekitarnya termasuk di Pondok Cina, Depok bahkan Istana Buitenzorg pun tidak luput dari kerusakan.

Beberapa puluh tahun lalu rumah tuan tanah Cimanggis ini pernah dijadikan rumah tinggal karyawan RRI, namun sekarang ditinggalkan kosong begitu saja. Melihat kondisinya sekarang dikawatirkan, rumahini akan bernasib sama seperti rumah-rumah tuan tanah lainnya yang bertebaran di pelosok pinggiran Jakarta dan akan lenyap begitu saja diterpa perkembangan zaman. Sebagian ada yang tinggal nama akibat digusur modernisasi kota seperti yang terjadi pada rumah-rumah di Pondok Gede atau Groeneveld di Tanjung Timur yang kini tinggal puing-puing belaka karena kebakaran hebat pada tahun 1985.

Jelajah Depok

Rupanya masih ada sekelompok orang yang masih peduli dengan situs-situs bersejarah, sehingga mulai menggarap menjadi kegiatan Love Our Heritage, dengan acara bulanannya mengunjungi situs-situs bersejarah, dengan cara memperkenalkan pada komunitasnya. Salah satu kegiatan Love Our Heritage adalah menyelenggarakan acara Jelajah Depok, dan salah satunya mengunjungi rumah tuan tanah Cimanggis diatas.

Banyak rumah bersejarah yang belum dilindungi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, sehingga ada kemungkinan suatu saat akan begitu gampangnya digusur oleh pemilik modal. Sungguh sangat disayangkan sebuah rumah bersejarah yang kebetulan saat ini masih tegak berdiri, meskipun dengan kondisi compang camping nantinya hanya tinggal nama. Padahal tempat ini sangat banyak menyimpan cerita masa lalu yang bernilai sejarah. Cerita tentang tuan tanah yang rakus dan gemar memeras petani sekitarnya, juga tentang nasib para budak yang terampas hak-hak asasinya. Semoga pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kelestarian sejarah, segera menyadari kelalaiannya dan mengambil tindakan pencegahan secepatnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun