Entah suatu kebetulan, atau memang karena euphoria pergantian presiden baru yang penuh gejolak dan sangat dinamis, ternyata dari para tokoh seni juga memaknai situasi ini dengan pementasan karya seninya dengan mengambil cerita dari tokoh pewayangan Semar.
Yang pertama, Wayang Gaul Nusantara telah memanggungkan "Semar Mencari Cinta" pada hari Minggu 19 Oktober 2014 di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
"Semar Mencari Cinta" berangkat dari keprihatinan komunitas seni terhadap situasi sosial-spiritual masyarakat Indonesia paska Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden. Silang sengketa tatanan sosial-spiritual masyarakat Indonesia memang bermula dari banyak hal. Akan tetapi, sumber hancurnya tatanan sosial-spiritual Indonesia saat ini adalah perilaku para pemimpin bangsa ini.
Tatanan sosial diaduk-aduk sedemikian rupa sehingga keadilan disamakan dengan kekuasaan, keadilan disetarakan dengan kekayaan. Saking parahnya, sehingga timbul praduga bahwa keadilan akan berpihak pada kekuasaan dan kekayaan. Ada semboyan yang diplesetkan dari "berani membela yang benar" menjadi "berani membela yang bayar". Salah atau benar, ukurannya ya, "wani piro" (berani bayar berapa).
Tatanan spiritual juga kian hancur karena kesakralan sengaja dimatikan, dengan dalih logika akal sempit semata-mata. Sorga menjadi komoditi. Doapun dapat dikurs dengan mata uang asing. Tampilan menjadi tolok ukur kesucian. Setiap orang merasa dirinya paling benar dan dengan mudahnya menghakimi kesalahan orang lain. Tali silaturahmi putus digantikan oleh tali kekerabatan yang didasari oleh untung-rugi.
Tokoh Semar yang dikenal sebagai pamong dan harusnya membimbing (ngemong dalam bahasa Jawa), padahal yang harus dibimbing itu lazimnya anak kecil, bukan orang dewasa. Anak kecil biasanya memiliki sifat saling menunjukkan kebaikannya, berebut mainan, berebut jajanan, tapi di era sekarang justru orang dewasa yang saling berebut kursi atau berebut kedudukan.
Dikala zaman makin maju, yang asli dan palsu sudah bercampur menjadi satu dan sulit dibedakan. Maka rakyatpun makin susah mencari pemimpin yang asli. Sangat sulit untuk menyaring, agar mendapatkan pemimpin yang baik dari sekian banyak yang menyebutkan diri sebagai pemimpin.
Kejadian-kejadian yang meresahkan ini digambarkan sebagai Semar yang menjadi kembar, serupa tetapi tidak sama. Kembarannya juga banyak, bahkan rata-rata cacat produksi. Namun Semar yang asli tetap tegar, Semar gadungan mau bertingkah seperti apapun, pasti akan dibuktikan kepalsuannya.
Ada Semar yang ke kahyangan lalu mencoba merayu isteri Bathara Guru (Bathari Uma) dengan mengajaknya turun ke mayapada, ada Semar yang menyamar sebagai Arjuna untuk merayu Dewi Drupadi. Akhirnya semua dapat dibuktikan sebagai Semar palsu oleh Semar yang tulen. Meski untuk membuktikan kebenaran ini Semar terpaksa harus meninggalkan keluarganya dalam kurun waktu cukup lama.
Sedangkan yang kedua adalah Indonesia Kita yang mementaskan "Semar Mendem" pada tanggal 7 dan 8 November 2014 di tempat yang sama. Dimotori oleh Butet Kartaredjasa, Agus Noor, Bre Redana dan Marzuki Mohamad sebagai tim kreatif, mengambil tokoh Semar sebagai tokoh yang dikenal arif dan bijak dalam dunia wayang, rakyat dibuat bingung oleh banyak orang yang menganggap dirinya adalah titisan Semar dan menerima wahyu untuk menjadi pemimpin. Oleh karena itu muncullah tokoh-tokoh yang merasa dirinya sebagai pemimpin terpilih, yang merasa paling mampu menjadi pemimpin.
Melalui pementasan ini Indonesia Kita mendorong masyarakat untuk saling memahami, membuka diri dan pikiran, agar sama-sama mencari tahu siapa sesungguhnya pemimpin sejati yang ditunggu itu."Semar Mendem" artinya Semar sedang mabuk, mabuk kuasa, mabuk cinta dan mabuk lain-lainnya. Padahal Semar tulen sebagai tokoh yang arif dan bijaksana tentu tidak mungkin sampai mabuk pada hal-hal yang bersifat duniawi.