Gambar di samping terlihat dari balik pintu mobil, seorang pengemudi sedang santai di depan dashboardnya memberikan sekeping uang receh. Sementara di luar pintu mobil seorang pengemis tua dengan rasa penuh harap menerima uang pemberian orang tersebut. Memang beda nasib seseorang sangat tipis, setipis pintu mobil yang memisahkan 2 insan berbeda itu. Ini adalah realitayang setiap hari kita temui. Dan mungkin kita hanya bisa berkata, "oh kasihan bapak itu, seandainya aku punya rejeki yang lebih pasti aku berikan uang itu pada bapak itu. Seandainya Allah memberikan ku kekayaan pasti aku rela berbagi dengannya. Seandainya.....seandainya....seandainya...." dan kita hanya bisa berkata "seandainya".
Di pusat perbelanjaan, tentu kita menemui pemandangan semacam itu, bahkan lebih banyak. Bukan hal yang aneh lagi jika di Indonesia yang kita bangga-banggakan ini banyak sekali orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka bukannya menyerah dan kabur dari dunia kerja. Tapi mereka merupakan korban dari pesatnya pembangunan yang ada saat ini. pembangunan yang seharusnya bisa meningkatkan pendapatan masyarakat, pembangunan yang semestinya bisa memberikan banyak kesempatan kerja, tapi ternyata justru hanya menggemukkan badan orang-orang tertentu, yang telah meracuni pikiran kita menjadi orang yang pelit, egois, dan acuh tak acuh terhadap realita yang ada di sekitar kita. Sebenarnya bukan lah alasan orang yang bijak, jika kita hanya menanti gaji kita turun dulu untuk memberikan sedikit sedekah kepada saudara kita yang miskin. Allah sudah memberikan kita kelebihan, bahkan rezeki yang mungkin menurut kita sedikit, tapi menurut saudar a duafa kita banyak. Sudah sepantasnya kita bisa saling berbagi. Toh, hanya dengan 500 perak atau seribu perak tidak akan membuat kita jatuh miskin (bukankah begitu?). Justru dengan kita saling berbagi maka rasa solidaritas kita akan tumbuh. Dan yakinlah sobat, bahwa apa yang kamu berikan itu akan menjadi jaaaaaaaaaaaaauh lebih banyak kelak jika sudah saat itu tiba.
Pernah suatu ketika saya mudik ke Magetan, mengendarai Bus Sumber Kencono. Saat itu di Sragen naik seorang pengamen, laki-laki, usianya sekitar 27 tahun. Dia pengamen tapi tidak membawa alat musik apapun. Hanya kantong plastik bekas kemasan makanan yang dia bawa ke mana-mana. Coba tebak, apa yang terjadi kemudian. Dia menyanyi, betul menyanyi…tapi suara yang keluar bukan suara alunan vokal yang beriramans seperti yang kita dengar di radio-radio,melainkan hanya suara orang gagu, karena memang dia orang gagu. Dan kontan beberapa penumpang tertawa dengan pemandangan itu. Tapi sungguh, itulah usaha yang memang hanya satu-satunya usaha yang bisa dia lakukan.
Semakin sulitnya jaman, mereka yang kuat menjadi semakin kuat. Dan mereka yang lemah dan tertindas semakin menjadi lemah dan tertindas. Kita tentunya tidak mau saudara kita disamakan dengan anjing pengemis seperti gambar di samping kan ? Banyak sekali kejadian yang kita rasakan, akan tetapi sangat sedikit perasaan yang kita tanggapi. Mungkin memang kepekaan kita sudah hilang, atau hati kita memang benar-benar sudah tertutup sehingga tiada belas kasihan sedikit pun yang tersisa di hati kita.
reposting dari blog pribadi penulis : Sidik Jari - http://sutikno.blog.uns.ac.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H