Pada suatu hari, Umar bin Abdul Azis, raja dari Dinasti Abbasiyah, melakukan kunjungan ke wilayah kekuasannya yang terletak di tepi sungai Tigris, yang kini menjadi wilayah Irak. Dalam kunjungannya itu Umar hanya ditemani dua menterinya, dan menyamar sebagai rakyat biasa. Pulangnya, raja dan rombongan menyeberangi sungai Tigris dengan menumpang perahu getek.
Sang raja beserta dua menterinya itu tahu bahwa nakhoda perahu itu adalah seorang sufi yang eksentrik. Dibantu beberapa muridnya yang juga gendheng. Sesampai di tengah sungai, tiba-tiba sang nakhoda memerintahkan anak buahnya untuk menghentikan perahu itu. Lantas ia keluarkan minuman Jenewer, sejenis anggur yang memabukkan. Sang nakhoda mengajak ketiga penumpangnya minum bersama-sama. Tentu saja raja menolak keras.
Tapi sang nakhoda ngotot, malah mengancam akan menenggelamkan perahunya jika mereka tidak mau menuruti permintaannya. Ketika pembantu raja akan memberi tahu bahwa yang dipaksa minum itu adalah raja, sang raja melarang. Ia (raja) akan buat kejutan, nanti kalau sudah turun dari perahu saja.
Benar juga. Begitu turun dari perahu, sang raja memerintahkan pembantunya agar memberitahukan kepada sang nakhoda tentang siapa sesungguhnya dirinya. Pikir raja, begitu tahu siapa dirinya, sang nakhoda pasti terperanjat dan terbata-bata mencium telapak kakinya. Tobat minta ampun.
Tapi benar-benar di luar dugaan! Begitu nakhoda diberitahu siapa sebenarnya yang baru saja “dikerjain” di atas perahu itu, ia malah tertawa ngakak. “Baru minum satu gelas saja sudah merasa jadi raja, ha… ha… ha…. Apalagi kalau ia minum satu botol, pasti ia merasa jadi Tuhan,” sergah sang nakhoda yang sufi itu sambil tetap mengumbar tawanya dan tetap mengayuh perahunya, ngeloyor meninggalkan rombongan raja yang terbengong-bengong menyaksikan ulahnya.
Sesampai di rumah, sang raja merenungi ulah nakhoda sufi itu. Ia merasa diberi pelajaran, bahwa sebenarnya kekuasaan itu sebagaimana halnya minuman keras. Bisa membuat orang mabuk. Lupa daratan, lupa lautan. Apapun bentuk kekuasaan itu. Sampai tatkala menyamar sebagai rakyat jelata- mestinya harus tampak seperti tak punya kekuasaan apa-apa – pun ia tidak bisa menyembunyikan akan kepongahannya sebagai pemilik kekuasaan.
Setelah itu sang raja mulai bisa merenungi akan betapa pentingnya suatu etika berkuasa bagi dirinya. Kekuasaan itu ibarat sebuah tangga. Ada saatnya naik, ada saatnya turun. Tatkala di suatu tangga, harus eling dan waspada. Jangan rakus mereguk kekuasaan, nanti bisa teler, dan ujung-ujungnya, jatuh terjerembab. Terjerembab manapun, baik dari tangga, dari rumah bertingkat, ataupun dari kekuasaan, semuanya sama saja, amat-amat menyakitkan.***
Dikutip dari:
Buku
Pedagogi Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Multidimensional (hal. 57-59)
Penulis
Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.AP (Rektor UMM Periode 1999-2015)
Penerbit
UMM Press, 2004
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H