Mohon tunggu...
Sutawi Bin Kasir
Sutawi Bin Kasir Mohon Tunggu... Dosen - Amanu wa 'amilush sholihati

Dosen Fak. Pertanian-Peternakan Univ. Muhammadiyah Malang Jl. Raya Tlogomas 246 Malang - 65144 sutawi@umm.ac.id

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Protein Hewani, Rokok, dan Karakter Bangsa

8 Agustus 2014   05:37 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:06 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1407505045828146299

[caption id="attachment_351887" align="alignright" width="660" caption="Rokok: Killer of The Century"][/caption]

Protein hewani diakui bermanfaat sangat penting bagi pertumbuhan, kecerdasan, dan kesehatan, bahkan karakter seseorang. Namun demikian, bangsa Indonesia baru mampu mengkonsumsi protein hewani asal ternak sebesar 5,45 g/kapita/hari, setara dengan daging 21,23 g, telur 47,73 g atau ¾ butir, dan susu 18,96 g atau 2 tetes sehari (Statistik Peternakan 2009). Konsumsi protein hewani tersebut kurang dari standar FAO 6 g/kapita/hari, dan lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Brunei, dan Singapura.Konsumsi protein hewani yang rendah berdampak buruk terhadap kualitas SDM (HDI) yang berada pada ranking 111 dari 182 negara (UNDP, 2009), dan daya saing global pada peringkat 54 dari 133 negara (WEF, 2009).

Rendahnya konsumsi protein hewani tersebut bukan sekedar karena harga yang relatif mahal, atau pendapatan per kapita penduduk yang rendah, tetapi sudah menyangkut karakter bangsa, yaitu perilaku yang tidak bisa membedakan nilai-nilai (values) yang baik menurut standar logika (benar-salah), estetika (bagus-buruk), etika (adil/layak-tidak layak), agama (dosa-haram-halal), dan hukum (sah-absah). Dengan pendapatan per kapita hanya US$ 2.246 (Rp 1.722.000/bulan), bandingkan dengan Thailand (US$ 4.115), Malaysia (US$ 8.141), Brunei (US$ 37,053), dan Singapura (US$ 38.972), seharusnya orang Indonesia bisa memilah dan memilih makanan apa yang sebaiknya dikonsumsi, dan makanan apa yang seharusnya dihindari.

Bandingkan konsumsi protein hewani dengan konsumsi rokok. Menurut catatan WHO (2008), 65 juta (28%) penduduk Indonesia menghisap rokok sebanyak 240 miliar batang setiap tahun, atau 658 juta batang per hari, atau 11 batang/perokok/hari. Angka tersebut merupakan angka tertinggi ketiga di duniasetelah Cina dan India. Jika dipatok pada harga rata-rata Rp500 per batang saja, berarti jumlah uang yang “dibakar” perokok di Indonesia mencapai Rp 120 trilyun setahun, atau Rp 329 miliar sehari, atau Rp 5.500/perokok/hari. Uang yang dibakar perokok tersebut seharusnya dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan protein hewani keluarga sehari, berupa telur ½ kg, atau daging ayam 1/3 kg, atau susu 1½ liter. Data BPS (2008) menyebutkan bahwa rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk tembakau mencapai Rp 19.636,00/bulan, lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk daging, telur, dan susu sebesar Rp 19.152,00/bulan.

Ironisnya, 70% dari jumlah perokok Indonesia adalah masyarakat miskin. Hasil penelitian LSM Hellen Keller terhadap 175 ribu keluarga miskin kota di Indonesia menemukan bahwa 22% pendapatan dikeluarkan untuk rokok, sementara pengeluaran untuk membeli beras yang merupakan kebutuhan pokok hanya sebesar 19%(Radio Nederland, 2009).Hasil survei Lembaga Demografi FE UI menunjukkan fakta yang lebih memprihatinkan bahwa pengeluaran rokok pada rumah tangga termiskin per bulan setara dengan 17 kali pengeluaran untuk daging, lima kali pengeluaran untuk telur dan susu, dua kali pengeluaran untuk ikan, sembilan kali pengeluaran untuk pendidikan, dan 15 kali pengeluaran untuk biaya kesehatan(Kompasiana, 2009).

Dari sisi kesehatan, asap rokok diketahui mengandung 4.000 macam zat kimia, yang 200 diantaranya beracun dan 43 jenis lainnya bersifat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker), antara lain tar, nikotin, dan karbon monoksida (CO), yang terbuktimenimbulkan hampir 50 masalah yang terkait kesehatan dan mengakibatkan 25 jenis penyakit mematikan, seperti kanker paru-paru dan tenggorokan, jantung, hipertensi, impotensi,dan sebagainya.WHO mencatat sekitar 5,4 juta orang meninggal setiap tahun, atau satu kematian setiap 6,5 detik,disebabkan penyakit terkait tembakau (tobacco related diseases). Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan kematian akibat HIV/AIDS, TBC, dan malaria. Di Indonesia, sebanyak 1.172 orang meninggal setiap hari karena rokok. Banyaknya jumlahkorban rokok telah menobatkan rokok sebagai “Pembunuh Abad Ini” (Killer of the Century).

Dari sisi ekonomi, industri rokok di Indonesia memang merupakan industri yang banyak menyerap tenaga kerja dan menjadi salah satu sumber penerimaannegara. Menurut Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), jumlah pekerja yang terkait dengan industri rokok, mulai petani tembakau dan cengkih, buruh pabrik,pedagang, sampai pengecer rokok, mencapai 6,2 juta orang, sedangkan penerimaan negara dari cukai rokok mencapai Rp 56,4 trilyun pada tahun 2009. Namun, penelitian WHO menyebutkan bahwa biaya kesehatan yang dikeluarkan pemerintah untuk menangani penyakit akibat rokok mencapai Rp 167 triliun, atau 3 kali lipat dibandingkan cukai yang diterima pemerintah (Campus Asia, 2009).

Dari sisi hukum agama, PP Muhammadiyah pada 9 Maret 2010 mengeluarkan fatwa haram rokok (dikerjakan berdosa, ditinggalkan berpahala). Fatwa tersebut lebih tegas dibandingkan fatwa MUI pada Januari 2009 yang memutuskan fatwa haram merokok hanya bagi wanita hamil dan anak-anak, serta merokok di tempat umum. Di luar tiga kategori tersebut, hukum merokok jatuh pada makruh (ditinggalkan berpahala, dikerjakan tidak berdosa). Meskipun mayoritas (85,2%) bangsa Indonesia beragama Islam, fatwa haram rokok ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan konsumsi rokok. Di negara-negara maju yang lebih beradab, dalil aqli (hasil penelitian) lebih dihargai daripada dalil naqli (fatwa haram), sehingga jumlah perokok mengalami penurunan 15-20 persen. Di Indonesia yang mengaku agamis, fatwa haram rokok hanya dianggap sebagai deklarasi tak berarti, baik karena pertimbangan ekonomi maupun kepentingan pribadi. Fatwa haram rokok, dan kampanye gizi, juga masih kalah pamor dibandingkan iklan dan sponsor rokok yang terus menyerbu selama 24 jam non-stop melalui berbagai kegiatan, seperti olah raga, musik, film, kebudayaan, pendidikan, dan bahkan keagamaan.

Makanan tidak hanya bermanfaat bagi kesehatan, tetapi juga membentuk karakter seseorang. Ketagihan dan ketergantungan asap rokok yang tergolong barang haram atau makruh, dapat menutup mata hati dan pikiran seseorang, sehingga tidak mampu membedakan mana yang lebih penting antara daging, susu, dan telur, atau rokok. Oleh sebab itu, maka wajar jika bangsa Indonesia akan selalu kalah dalam persaingan global yang membutuhkan SDM yang sehat, cerdas, dan produktif. ***

Tulisan ini dimuat di Majalah Poultry Indonesia Edisi September 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun