Sejak Joko Widodo jadi Gubernur DKI Jakarta, televisi nasional setiap hari dipastikan menayangkan berita soal Jokowi. Saya amati, berita yang tayang soal Jokowi dalam sebuah stasiun televisi nasional, bisa hingga sepuluh kali! Pada berita pagi ada, siang hari ada, sore hari ada, malam juga ada.
Saya yang ada di daerah, tentu saja geleng-geleng kepala karena berita soal Jokowi tidak ada kepentingannya dengan daerah saya. Saya kemudian berfikir, bahwa televisi nasional sekarang sudah tidak memikirkan lagi pemirsanya yang di daerah. Televisi nasional sudah bukan milik warga di daerah lagi.
Karena itu, jangan heran jika belakangan saya sering langsung memindahkan saluran televisi jika saluran yang saya tonton, tiba-tiba memberitakan Jokowi, apalagi jika isinya seakan mendewakan Jokowi, atau membentur-benturkan Jokowi dengan fihak lain, tapi kemudian “memenangkan” Jokowi!
Alasannya, karena Jokowi tidak ada kepentingannya dengan saya yang ada di daerah. Apalagi karena Jokowi itu, bagi saya yang ada di Jawa Barat, bukan siapa-siapa, karena Gubernur dan Wakil Gubernur saya adalah Aher dan Dedi Mizwar, bukan Jokowi dan Ahok! Kalau di televisi nasional ada berita Aher atau Dedi Mizwar, baru saya pantengin, sampai tuntas!
Hal sama, saya lakukan jika membaca media online. Belakangan kalau dalam media online favorit saya seperti detik, kompas, tribunnews, pikiran rakyat, okezone, dan merdeka.com ada berita soal Jokowi, saya memilih tidak membacanya! Saya cukup membaca judulnya saja.
Saya tidak tahu, apakah yang “memblokir” tayangan dan berita Jokowi itu hanya saya atau ada juga yang lain. Namun saya yakin, walau jumlahnya tidak sebanyak penggemar Jokowi, di Tanah Air banyak juga yang sudah mulai bosan dengan berita-berita soal Jokowi.
Mencermati kenyataan tersebut, saya tidak menyalahkan Jokowi. Saya bahkan yakin, bahwa Jokowi sebenarnya tidak mau hampir semua langkahnya diekspos media , kecuali Jokowi memang ingin selalu diekspos media sehingga ke mana-mana merasa perlu membawa atau mengundang media. Boleh jadi Jokowi pun sadar bahwa di Indonesia sebenarnya ada gubernur yang lebih bagus dari dirinya.
Yang saya salahkan dalam tulisan ini, adalah media, khususnya elektronik dan online, terutama yang berkantor di Jakarta. Pasalnya, belakangan terlalu banyak menayangkan dan mengabarkan Jokowi, sementara kiprah dan gebrakan gubernur lain di Indonesia tidak diberi ruang yang sama. Padahal, gubernur yang lain pun memiliki hak yang sama untuk ditayangkan dan diberitakan media.
Atas kenyaaan itu, gubernur yang lain di Indonesia sebenarnya sah-sah saja melaporkan televisi nasional dan media online ke KPI atau lembaga terkait lainnya, karena tidak memberikan ruang yang sama dalam pemberitaan. Siapa tahu dengan langkah itu, muncul kesadaran di pengambil kebijakan televisi nasional, soal perlunya pemerataan pemberitaan.
Jika media tetap seperti saat ini, lebih banyak memberitakan Jokowi, saya khawatir __ jika Jokowi nantinya jadi calon presiden __publik bosan pada saatnya nanti. Alih-alih ingin banyak dipilih, justru Jokowi dilupakan dan tidak dipilih. Apalagi jika dalam perjalanannya, Jokowi kena “musibah” karena berita. Misalnya karena Jokowi terpancing mengeluarkan pernyataan yang keliru di media sehingga melahirkan rasa antipasti dan sikap apriori. Ini bahaya bagi karir Jokowi.
Mudah-mudahan saja tulisan ini menjadi bahan renungan bagi pengelola televisi nasional dan media online, serta Jokowi. Demikian laporan saya!***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H