Bicara masalah kepahlawanan tidak bisa lepas dari sejarah perang melawan penjajahan di Indonesia.
Penjajahan di Indonesia (saat itu terkenal dengan sebutan Nusantara) berawal dari adanya hubungan perdagangan rempah-rempah antara kerajaan-kerajaan/kesultanan-kesultanan di Nusantara dengan bangsa-bangsa dari Eropa, seperti Inggris, Belanda, dan Portugis yang datang di Nusantara.
Saat penjajahan dimulai Nusantara terdiri dari beberapa kerajaan/kesultanan, pada masa itu orang-orang Eropa sangat membutuhkan rempah-rempah seperti cengkeh, pala dan barang-barang itu banyak terdapat di daerah Nusantara.
Semula kedatangan bangsa-bangsa dari Eropa hanya untuk mendapatkan rempah-rempah tetapi karena persaingan untuk mendapatkan rempah-rempah di antara mereka semakin tajam dan juga terdorong keinginan untuk bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar, maka dilakukan cara-cara licik untuk bisa menduduki daerah-daerah penghasil rempah-rempah, cara-cara licik menduduki daerah penghasil rempah-rempah inilah yang kemudian melahirkan penjajahan fisik di seluruh Nusantara.
Belanda menguasai Nusantara awalnya melalui sebuah kongsi perdagangan yang bernama VOC didirikan tahun 1602 dan dibubarkan tahun 1799 karena bangkrut akibat korupsi besar-besaran, kemudian pemerintah Belanda mengambil alih semua daerah kekuasaan VOC yang disebut Hindia Belanda.
Perang mengusir penjajahan oleh kerajaan-kerajaan/kesultanan-kesultanan sudah dilakukan sejak awal VOC berdiri, tetapi selalu kalah karena Belanda pandai melakukan politik memecah belah suatu kerajaan/kesultanan dari dalam dan politik adu domba antara satu kerajaan/kesultanan dengan yang lainnya dan praktek-praktek inilah yang dimaksud dengan cara-cara licik.
Karena Belanda memerintah dengan politik memecah belah dan adu domba dibarengi politik yang keras, bangsa dan negara Belanda yang kecil bisa menguasai Nusantara yang begitu luas selama 350 tahun.
Cara pemerintahan yang keras di Hindia Belanda mendapat banyak kecaman dari Parlemen Belanda sendiri dan akhirnya cara pemerintahan diperlunak dengan memberlakukan politik etis (politik balas budi).
Dengan diberlakukan politik etis tahun 1901 (tahun kelahiran Sukarno) maka terbuka kesempatan terbatas bagi pemuda-pemuda priyayi Bumi Putera di Hindia Belanda untuk memasuki pendidikan hingga sekolah tinggi.
Di Jawa politik etis telah melahirkan banyak pemuda priyayi Bumi Putera yang terdidik menjadi terbuka kesadaran dan kepeduliannya betapa parahnya kesengsaraan yang menimpa masyarakat Bumi Putera sebagai akibat penjajahan yang disebabkan karena kebodohan.
Sejak tumbuhnya kesadaran dan kepedulian kalangan berpendidikan pada masyarakatnya maka cara perjuangan melawan penjajahan menjadi berubah, perang fisik yang dulu biasa dilakukan oleh kerajaan/kesultanan berganti menjadi pergerakan melalui organisasi yang menyebarluaskan kesadaran pentingnya melakukan usaha-usaha bersama untuk mengurangi ketertinggalan masyarakat Bumi Putera di antaranya dengan memperbanyak pendidikan untuk mengurangi kebodohan.
Tahun 1908 berdirilah organisasi pergerakan yang pertama Budi Utomo sebagai tonggak tumbuhnya semangat bangsa (kebangkitan nasional) kemudian ikrar sumpah pemuda tahun 1928 sebagai bentuk kristalisasi semangat nasional tahun 1908.
Dan tahun 1945 setelah Jepang dikalahkan tentara Sekutu (Jepang menguasai Hindia Belanda (Indonesia) dari tahun 1942 s/d tahun 1945) meletuslah proklamasi kemerdekaan Indonesia sebagai puncak akumulasi semangat nasional tahun 1928.
Proklamasi kemerdekaan mendapat tentangan keras dari pihak Belanda yang sudah terusir oleh Jepang dari Indonesia, dengan ikut mendompleng tentara Sekutu yang masuk Indonesia untuk melucuti tentara Jepang, Belanda menduduki kembali wilayah Indonesia dan terjadilah perang Indonesia melawan Belanda demi mempertahankan kemerdekaan dengan semangat dan cara yang berbeda tidak lagi perang seperti yang dilakukan kerajaan/kesultanan yang masih bernuansa daerah, tetapi perang yang dibakar semangat nasionalisme yang tinggi merdeka atau mati dan dengan cara perang bergerilya, menghantam saat musuh lengah dan menghindar masuk hutan terus begitu hingga tentara Belanda merasa tidak aman.
Adalah suatu berkat pada saat sebelum proklamasi kemerdekaan sudah ada anak-anak bangsa yang dijadikan PETA (Pembela Tanah Air, laskar bikinan Jepang) dan menjadi KNIL (Tentara yang direkrut Belanda) yang kemudian segera sesudah proklamasi mereka dijadikan I N T I bagi pembentukan laskar rakyat yang digunakan untuk perang melawan Belanda hingga akhirnya pada tahun 1949 Belanda kewalahan dan mengakui kemerdekaan Indonesia.
Maka kemerdekaan Indonesia tidak datang begitu saja tetapi direbut melalui perjuangan berat yang heroik yang sangat panjang penuh pengorbanan sejak masih jaman kerajaan/kesultanan dengan mengalami pasang surut tetapi tidak pernah berhenti.
Perjuangan dilakukan melalui perang fisik dan melalui organisasi pergerakan, karena itu Indonesia memiliki banyak Pahlawan berlatar tentara dan sipil.
Tanpa perjuangan dan pengorbanan para pejuang tentara dan sipil tidak akan ada Indonesia yang kita lihat seperti hari ini dan untuk mengenang dan merghomati jasa-jasa dan pengorbanan para pejuang kemerdekaan pemerintah menyiapkan Makam Pahlawan dan menganugerahkan berbagai tanda jasa dan gelar Pahlawan Nasional.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu menghormati pahlawannya (BK).
Pahlawan asal katanya “pahala” (= ganjaran) ditambah ahiran kata “wan” jadilah kata pahalawan lama-lama jadi pahlawan yang artinya orang yang berani ambil risiko untuk berbuat baik bagi orang banyak yang terdzolimi karena panggilan hati semata sehingga layak dapat ganjaran (dari Allah Swt).
Dalam kaitan dengan bangsa dan negara Pahlawan adalah orang yang berjuang tanpa pamrih dengan pengorbanan yang luar biasa demi kemerdekaan (pidato BK).
Bagi pejuang-pejuang besar yang tutup usia atau gugur sebelum saat pengakuan kemerdekaan tahun 1949 bisa dipastikan mereka semua Pahlawan sebab perjuangan dan pengorbanan mereka belum sempat tercemar pamrih masih murni, sepi ing pamrih sehingga layak mendapatkan gelar Pahlawan Nasional.
Tetapi bagi pejuang-pejuang besar yang telah berjuang jauh sebelum saat pengakuan kemerdekaan dan perjuangannya berlanjut pada jaman Orde Lama dan jaman Orde Baru, pada saat sesudah tutup usia tidak mudah untuk menetapkan apakah mereka pahlawan atau bukan ?.
Sebab tantangan jaman pada jaman Orde Lama dan jaman Orde Baru sudah sangat berbeda.
Pada jaman Orde Lama dan jaman Orde Baru mereka bukan lagi berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan (penjajah orang-orang bule sudah tidak ada lagi) tetapi lebih berat lagi yaitu untukmengisi kemerdekaan, sehingga sangat memungkinkan seseorang yang awalnya pejuang besar tanpa pamrih tetapi pada saat berjuang untuk mengisi kemerdekaan (seperti mengelola sumber kekayaan negara untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat) kena khilaf yang keterusan sehingga tidak lagi murni berjuang untuk bangsa dan negara, tetapi juga untuk memperkaya diri sendiri/keluarga dan orang-orang tertentu dan ini juga terjadi di luar negeri (contoh Ferdinand Marcos, Saddam Husen, Moammar Khadafi, dan Hoesni Mubarak).
Saya pernah membaca tulisan bahwa yang namanya pahlawan itu sangat mulia,saatdatang (saat mulai berjuang) dan pergi (tidak lagi berjuang karena pensiun/tutup usia atau terjadi pergantian kekuasaan contohnya Orde Lama digusur Orde Baru) sama, artinya kalau saat mulai berjuang sudah kaya dan selesai berjuang tetap kaya tentu tidak ada masalah, tetapi kalau pada saat mulai berjuang tidak memiliki apa-apa selain semangat dan setelah selesai berjuang menjadi kaya raya, ini yang jadi masalah, dari mana kekayaan itu berasal?
Kalau tidak bisa dibuktikan kekayaan itu halal maka si pejuang pastinya bukan Pahlawan sebab tidak memiliki keteladanan sepi ing pamrih.
Bahkan nasib akhir seorang Pahlawan bisa lebih mengenaskan lagi bukan hanya harus sama tetapi juga sengsara contohnya Sukarno (saat ini sudah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional) pada saat tidak berkuasa lagi hingga akhir hayatnya kesengsaraannya sungguh tragis, padahal menurut pengakuan Suharto setelah Sukarno tidak berkuasa lagi diperlakukan “mikul duwur mendem jero”?
Saat ini sebelum seseorang memegang kekuasaan apakah eksekutif, legislatif dan yudikatif atau jabatan publik lainnya diwajibkan mendaftarkan harta kekayaan yang dimilikinya, hal ini sangat penting untuk mengetahui apakah seseorang selama menjalankan tugasnya bersih atau tidak?
Andai bersih (bahkan hartanya berkurang seperti Putin dari Rusia?) dan banyak melakukan terobosan-terobosan kemajuan bagi bangsa dan negara, maka setelah meninggal bisa diusulkan untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional.
Yang jadi pertanyaan besar : “Bagi seorang pejuang besar tiga jaman yang jasa-jasanya besar baik sebelum saat pengakuan kemerdekaan tahun 1949 dan juga pada jaman Orde Lama dan pada jaman Orde Baru, tetapi pada saat tidak berkuasa lagi ternyata kedapatan memiliki harta kekayaan termasuk yang disamarkan yang jumlahnya konon tidak akan habis dipakai foya-foya hingga belasan turunan, apakah pejuang besar tiga jaman ini layak atau tidak layak ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional?
Sekarang sedang ada usaha-usaha untuk menggolkan usulan agar Suharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional alasannya demi rekonsiliasi nasional.
Rekonsiliasi nasional memang sesuatu yang mulia, tetapi mengangkat Suharto sebagai Pahlawan Nasional tidak mudah karena sosoknya penuh kontroversi.
Menentukan layak atau tidak layak seorang pejuang besar tiga jaman diangkat sebagai Pahlawan Nasional tidak cukup hanya dengan mengkaji politiknya (contoh pro asing, liberal) dan kekuasaannya (contoh melanggar HAM, represif dan main tangkap lawan politik) juga hasil perjuangannya (contoh rakyat makmur dan aman), sebab ke tiga ukuran itu tidak netral akan tergantung kepada siapa yang sedang berkuasa, bisa direkayasa dan debatable.
Harus ada ukuran lain yang universal terbuka mudah dibuktikan yaitu tanpa pamrih.
Dengan mengukur seberapa besar kadar tanpa pamrihnya seorang pejuang akan mudah terlihat apakah pejuang itu putih atau tidak, sebab tanpa pamrih merupakan ciri dasar seorang Pahlawan kapan dan di manapun dan tanpa pamrih belum tentu dimiliki sekalipun oleh pemimpin besar/pejuang besar/jenderal besar.
Maka siapapun orangnya, apapun pangkat/kedudukannya, berapa lama perjuangannya dan sebesar apapun jasanya, tetapi andai dalam perjalanan perjuangannya ternyata telah mengumpulkan pamrih (= kekayaan) secara besar-besaran maka sejatinya orang itu bukan Pahlawan sebab tidak memiliki tanpa pamrih yang menjadi ciri dasar sehingga tidak selayaknya untuk diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Kalau Pemerintah memaksakan juga mengangkat Suharto sebagai Pahlawan Nasional, hal ini akan menodai nilai luhur Pahlawan dan memberikan keteladanan “Pahlawan” yang buruk bagi generasi saat ini dan generasi ke depan, padahal nilai keteladanan seorang Pahlawan mutlak diperlukan oleh bangsa manapun dan kapan pun. Dan saat ini di Indonesia keteladanan dari pemimpin-pemimpin yang masih hidup dan berkuasa memang tidak ada.
Pada sisi lain pengangkatan Suharto sebagai Pahlawan Nasional akan merupakan pemutihan bagi segala hal yang berbau warisan Suharto.
Stigma (hal buruk) Suharto yang juga menjadi stigma Golkar (sebagai partai warisan Suharto) dengan sendirinya akan terhapus.
Maka akibatnya Golkar dalam melakukan kampanye pileg dan pilpres tahun 2014 akan bisa dengan leluasa mengembangluaskan suasana sentimen kerinduan rakyat pada jaman Suharto yang saat ini mulai tumbuh sebagai akibat kehidupan ekonomi pada tingkat masyarakat bawah yang semakin berat.
Paling tidak separuh rakyat Indonesia yang hidup saat ini pernah mengalami dan merasakan kehidupan (makmur dan aman?) jaman Suharto dan rakyat pun tahu Golkar adalah salah satu tulang punggung dan partainya Suharto.
Maka dengan pengangkatan Suharto sebagai Pahlawan Nasional jangan kaget andai rakyat sebagai wujud kerinduan pada kehidupan ekonomi jaman Suharto pada saat pileg dan pilpres tahun 2014 nanti akan ramai-ramai mencoblos Golkar?
Pahlawan saat datang dan pergi sama, itulah moral luhur yang harus tetap menginspirasi pejuang-pejuang moderen bangsa yang sedang berbuat untuk mengisi kemerdekaan dalam bidang masing-masing secara jujur seperti air yang tetap mengalir seperti cahaya yang tetap menerangi.
Jangan biarkan lagi negara yang telah diperjuangkan mati-matian oleh para pejuang tanpa pamrih hanya jadi sapi perah bagi para penguasa negara dan pengusaha yang rakus tanpa batas untuk menumpuk harta kekayaan sebanyak mungkin, karena praktek-praktek semacam ini hingga hari ini di negari ini yang kaya tambah kaya yang miskin semakin miskin dan tambah banyak.
Dengan segala apa yang ditinggalkan Suharto, apakah itu keluarga besarnya berikut kekayaannya dan kegiatan bisnis sosialnya dan partai warisannya (Golkar) juga kegiatan yang sedang dilakukan Probosutejo membangun tiga monumen pada tiga tempat untuk mengenang perjuangan dan jasa-jasa Suharto, hingga saat ini tidak ada yang mengganggu, itu sudahmerupakan rekonsiliasi.[]
15/10/2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H