Mohon tunggu...
Sutardi S.
Sutardi S. Mohon Tunggu... -

Pensiunan dari pelayaran. Bergabung di Kompasiana karena ingin ikut mengemukakan berbagai pendapat tentang isu utama.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nama Medan (Lapangan) Merdeka Sarat dengan Nilai Heroik (Sejarah)

13 September 2013   12:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:57 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13793097961155389945

[caption id="attachment_288549" align="aligncenter" width="618" caption="Ruas Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (3/9/2013). Jalan yang terletak di sisi barat Tugu Monas ini diusulkan diubah namanya menjadi nama presiden kedua Indonesia, Soeharto/Admin (KOMPAS.COM/Alsadad Rudi)"][/caption]

Saat-saat setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 19 September 1945 pagi di lapangan luas terbuka menghadap istana putih besar di Jakarta berlangsung rapat raksasa/akbar yang dibanjiri sekitar satu juta rakyat untuk mendengarkan pidato resmi pertama Presiden Sukarno. Rapat itu dilarang dan Jepang menempatkan pasukan bersenjata lengkap dengan senapan mesin, tank dan sangkur terhunus sehingga keadaan genting, seorang saja melakukan gerakan yang salah bisa berakibat fatal dan banjir darah. Tetapi rakyat ridak ragu, dirasuki semangat "lebih baik mati untuk kemerdekaan daripada hidup dalam kematian" datang berduyun-duyun. (BK, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia). Lapangan luas terbuka itu yang kemudian sekarang dikenal dengan nama Medan Merdeka (medan = lapangan) dan istana putih besar dikenal dengan Istana Merdeka. Medan Merdeka dikelilingi ruas jalan, sebelah utara Jalan Medan Merdeka Utara, selatan Jalan Medan Merdeka Selatan, barat Jalan Medan Merdeka Barat dan timur Jalan Medan Merdeka Timur. Kini setelah 68 tahun berlalu nama ruas jalan yang mengelilingi lapangan itu terusik jadi polemik pro kontra. Dengan pertimbangan awal karena di ibukota belum ada nama Jalan Sukarno, maka Panitia 17 yang diketuai Jimly Asshiddiqi melontarkan wacana perubahan nama bagi ruas jalan yang mengelilingi Medan Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara jadi Jalan Sukarno, selatan Jalan Hatta, barat Jalan Suharto dan timur Jalan Ali Sadikin. Jadi ruas jalan yang mengelilingi Medan Merdeka yang syarat dengan nilai heroik yaitu tekad "Merdeka atau Mati", diwacanakan akan diganti nama sendiri-sendiri. Wacana sudah digulirkan dan karena pada salah satu ruas jalan ada Jalan Suharto, pro kontra tidak terhindarkan lagi. Bagaimana kalau sebutan Medan Merdeka-nya saja yang diganti dengan nama besar Sukarno Hatta (disingkat Suta), Jalan Medan Merdeka Utara jadi Jalan Sukarno Hatta Utara, selatan jadi Jalan Sukarno Hatta Selatan, barat jadi Jalan Sukarno Hatta Barat dan timur jadi Jalan Sukarno Hatta Timur. Sebab Sukarno dan Hatta bukan hanya sudah resmi menyandang gelar Pahlawan Nasional tetapi juga sebagai Proklamator sebagai Pendiri Bangsa dan Sukarno merupakan tokoh sentral yang hadir ditempat dan jadi "taruhan" saat rapat raksasa yang bersejarah itu diselenggarakan. Benar di ibukota harus juga ada Jalan Suharto dan Ali Sadikin mengingat kedua nama besar ini besar jasanya tetapi kontaknya sama sekali bukan pada Jalan Medan Merdeka, mungkin lebih tepat bagi jalan lain yang tidak memiliki nilai sejarah tertentu. Dengan solusi tadi, pertimbangan awal Panitia 17 yaitu keinginan di ibukota ada Jalan Sukarno dan Hatta terpenuhi (Jalan Sukarno Hatta) dan nilai sejarah ditempat jalan itu berada tak berkurang dan tercermin pada dua nama besar itu, tidak bias dan pro kontra bisa dipastikan tidak akan ada sebab dua nama besar ini saat datang mulai mengabdi dan pergi tidak jadi penguasa lagi keadaan keduanya sama yaitu sama-sama tidak bergelimang harta kekayaan. JAS MERAH (BK), jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!. Tentunya apalagi memanipulasi sejarah seperti mengganti nama jalan dengan nama besar, padahal nama besar tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan nilai sejarah pada tempat jalan itu berada. Kenapa nama Gajah Mada dan Hayam Wuruk dijadikan nama jalan dan berdampingan berada di pusat ibukota? Nama Gajah Mada tidak terpisahkan dari nama Hayam Wuruk kedua nama mengingatkan kita pada kebesaran Majapahit, Majapahit identik dengan Nusantara dan Nusantara identik dengan Indonesia saat ini. Karena nama Gajah Mada tidak terpisahkan dengan nama Hayam Wuruk maka diabadikan pada nama dua jalan yang berdampingan. Kalau nanti ada Jalan Suharto dan ada Jalan Nasution, kedua jalan itu juga sebaiknya berdampingan, sebab rasa-rasanya tanpa Nasution akan sulit Suharto jadi orang No.1 di Indonesia. Ali Sadikin, semua orang mengakui betapa besar jasa-jasanya bagi Jakarta tetapi tidak ada kaitannya dengan nilai sejarah yang ada pada Medan Merdeka, sebaiknya nama beliau diabadikan pada sesuatu obyek/jalan yang monumental. Golongan atau pengikut atau apapun namanya bisa direkonsiliasikan, tetapi sejarah jangan sekali-kali dikaburkan jangan dikompromikan. Salam buat bapak-bapak Panitia 17 dan Pak Jokowi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun