Majalah Tempo edisi terbaru memuat berita yang luar biasa berani dan mengundang kontroversi. Majelis Ulama Indonesia ditenggarai memperdagangkan label halal.
Yang menjadi pertanyaan saya pribadi adalah; apakah label halal di suatu produk yang diperdagangkan benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat di negara Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut secara objektif, patutlah dibuang jauh-jauh terlebih dahulu pembahasan yang bermuara pada dunia politik di tanah air ataupun upaya konspirasi dan sebagainya.
Ada beberapa penelitian baik dalam maupun luar negeri yang mengamati apakah ada perbedaan perilaku konsumen kala membeli produk yang berlabel halal dan tidak berlabel halal. Ternyata, hasil berbagai penelitian yang menguji theory of reasoned action dan theory of planned behavior tersebut menunjukkan tidak adanya perbedaan perilaku yang bermakna pada para konsumen. Sekalipun konsumen menyadari tidak adanya label halal di suatu produk yang hendak ia beli, hal tersebut tidak menghalanginya untuk membeli produk tersebut.
Berkaca pada hasil riset ini, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa pemberian label halal pada sebuah produk tidaklah ada manfaatnya.
Karena yang menjadi permasalahan utama adalah perilaku pembeli, maka harus dipikirkan suatu cara baru yang “memaksa” pembeli untuk mawas diri akan kehalalan suatu produk sembari melindungi penduduk beragama Islam dari produk haram.
Hingga saat ini belum ada penelitian tentang perilaku konsumen terhadap produk berlabel haram, karena memang belum ada produk yang berlabel demikian. Namun, ada beberapa penelitian di bidang lain yang bisa dijadikan rujukan.
Hal utama yang perlu dicermati adalah adanya kecenderungan konsumen yang tidak peka terhadap produk yang tidak berlabel halal. Hal itu bisa dimaklumi karena kita tinggal di negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, dan kebanyakan produk telah mencantumkan label halal, maka tanpa kita sadari, otak telah terpapar oleh adaptive effect. Adanya efek adaptasi menjadikan otak tidak lagi bekerja secara maksimal.
Pembuktian efek adaptasi ini bisa dilihat salah satunya dari perubahan jumlah Oxy-Hemoglobin yang diamati saat manusia diberikan suatu tugas yang diulang secara terus menerus. Pada pengulangan yang kesekian, terlihat secara jelas bahwa peningkatan jumlah Oxy-Hemoglobin tidaklah setinggi saat tugas tersebut diberikan pertama kali. Hal ini memberi kesimpulan bahwa jika otak terlanjur terbiasa akan satu hal, maka otak tidak lagi teraktifasi maksimal yang bermuara pada ketidakmawasan diri pada suatu hal.
Di lain tempat, ada satu penelitian yang juga mengamati perubahan jumlah Oxy-Hemoglobin kala manusia melaksanakan suatu tugas, namun tugas yang diberikan ini bukan berupa dalam bentuk yang lazim. Jika kita lazim diharuskan untuk memenangkan suatu permainan, maka pada penelitian ini, keharusan untuk kalah lah yang ditugaskan. Ternyata, peningkatan jumlah Oxy-Hemoglobin jauh lebih tinggi dibandingkan saat diberi tugas untuk memenangkan suatu permainan. Hal ini menandakan bahwa otak manusia lebih terkatifasi jika dihadapi oleh hal-hal yang tidak lazim.
Meski hal yang tidak lazim bisa meningkatkan aktifitas otak, apakah hal itu tidak akan menimbulkan efek adaptasi jika hal yang tidak lazim tersebut menjadi sebuah kelaziman?
Di sinilah salah satu keuntungan dari adanya sifat negativity bias pada manusia, di mana manusia lebih cenderung untuk menaruh perhatian pada hal-hal buruk atau membahayakan dirinya. Jika label halal bisa dianggap berkonotasi “baik”, maka tentu label haram bisa dikonotasikan sebagai “buruk”.
Oleh sebab itu, dalam rangka meningkatkan kewaspadaan konsumen saat membeli sebuh produk , maka pemberian label haram patutlah dipertimbangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H