Indonesia di awal tahun 2014 kembali menghadapi berbagai bencana alam. Mulai dari banjir yang melanda DKI Jakarta dan Jawa Barat, erupsi Gunung Sinabung di Sumatera Utara, dan yang terbaru adalah kembali meletusnya Gunung Kelud di Jawa Timur.
Sebagai respon terhadap bencana alam tersebut, tak terhitung jumlah relawan yang langsung ke lokasi bencana dan membantu evakuasi korban. Tidak hanya bantuan materi, bantuan berupa doa pun tidak ketinggalan ikut mengalir melalui media sosial baik Facebook, Twitter, dan lain sebagainya.
Informasi tentang bencana alam beredar semakin cepat sejalan dengan majunya teknologi informasi dan komunikasi. Dalam hitungan detik, bencana yang terjadi di Indonesia bisa diketahui oleh mereka yang berada di belahan bumi yang lain.
Pesatnya penyabaran informasi ini bukannya tidak memiliki kelemahan, yang tidak jarang malah menimbulkan masalah baru dalam upaya penanganan bencana. Kelemahan tersebut terletak pada tidak akuratnya informasi yang disampaikan melalui media sosial. Informasi yang tidak akurat ini lazim dikenal dengan istilah hoax.
Tersebarnya berita hoax mengenai bencana alam bukanlah hal yang bisa dipandang sebelah mata. Informasi semacam ini bukannya tidak mungkin hanya akan menambah kepanikan warga yang menjadi korban bencana maupun keluarga mereka yang jauh dari lokasi kejadian.
Karena besarnya pengaruh buruk dari beredarnya informasi palsu tentang kondisi terkini bencana alam, maka perlu diupayakan penghentian penyebaran berita menyesatkan tersebut.
Apakah upaya penghentian ini hanya bisa dilakukan oleh para relawan yang berada di lokasi bencana? Justru tindakan ini bisa dilaksanakan oleh mereka yang jauh dari lokasi bencana, namun memiliki akses internet.
Upaya penghentian penyebaran berita palsu tentang bencana alam ini pernah diteliti oleh ilmuwan pada Tahun 2011 terkait bencana gempa bumi dan tsunami yang melanda Jepang kala itu. Ia mengajukan satu social-technological system yang berlandasakan crowdsourcing of critical thinking untuk menghadapi gempuran rumor yang menyebar di Twitter terkait bencana alam tersebut.
Crowdsourching adalah satu upaya pengumpulan informasi yang mana pencarian informasi tersebut berasal dari banyak sumber. Sebagai contoh, jika saya ingin mencari informasi tentang A, maka bukan hanya saya saja yang menjadi subjek pencari informasi, namun informasi tersebut juga harus saya dapatkan melalui B, C, dan D.
Sedangkan yang dimaksud critical thinking of crowd adalah suatu keadaan di mana dorongan untuk bersifat kritis berasal dari luar subjek. Seseorang atau satu subjek tidak selalu bisa bersikap kritis terhadap suatu masalah seperti menilai informasi yang didapat atau menyebarkannya karena beragam keadaan seperti faktor psikologis ataupun lingkungan sosial yang tidak memaksanya untuk bersikap kritis.
Nah, apa upaya yang dilakukan oleh ilmuwan tersebut dan rekan-rekannya agar seseorang bisa berhenti menyebarkan informasi hoax melalui media sosial? Mereka memberikan stimulus dengan jalan membalas twit yang mengandung berita hoax agar dengan berita yang sebenarnya dan mengajak pemilik akun tersebutuntuk ikut kritis dalam menyampaikan berita. Upaya mereka dinilai cukup bermakna karena ada peningkatan jumlah hingga hampir dua kali lipat twit yang berusaha menghentikan penyebaran informasi palsu.
Penelitian ini memberikan jalan bahwa kita yang berada jauh dari lokasi bencana bisa ikut berpartisipasi membantu dengan cara bersikap kritis terhadap suatu keadaan, dan membalas twit menyesatkan yang beredar di sosial media seraya mengajak mereka untuk berhati-hati dalam menyampaikan berita.
Keadaan yang paling menyedihkan itu, tentu jika kita tidak membantu di lokasi bencana, mendoakan pun tidak, dan ikut memperkeruh suasana di dengan menyebarkan informasi palsu di media sosial bukan? Akun @GantiJakarta merupakan satu contoh akun anonym yang aktif meluruskan berita menyesatkan tentang bencana alam dan mengajak followernya untuk kritis terhadap isu yang beredar. Apakah Kita tidak mau kalah dari akun anonim?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H