Capek bermain, Darma meninggalkan anak-anak itu dan kembali ke kios. Ia tidak perlu khawatir meninggalkan anak-anak itu di sana. Mereka memang biasa bermain di sana, sendiri atau ditemani Pak Ranu. Halaman itu dikelilingi oleh pagar tembok yang cukup tinggi, dengan kawat-kawat berduri di atasnya. Pohon mangga dan rambutan yang rindang mampu membuat tempat itu cukup sejuk dan nyaman untuk bermain. Sebagian halaman itu termasuk di bawah kedua pohon itu terhampar rumput hijau yang tebal dan empuk. Berbaring di hamparan rumput itu senyaman berbaring di permadani Persia. Lagipula, dari jendela belakang kios, orang-orang yang ada di kios bisa mengawasi anak-anak itu.
"Kamu tidak keliling?" tanya Tono sambil menyortir koran lama yang tidak laku terjual.
"Tadi pagi sudah, di Sewon. Tapi hanya sebentar. Dapat lima rumah terus kembali ke sini," jawab Darma sambil membuka-buka koran lokal terbitan hari ini. "Tidak ada yang bisa dibaca meternya. Semua rumah hancur atau rusak berat."
Sejenak tidak ada yang mengeluarkan suara. Semua menyimak radio yang dari waktu ke waktu menyiarkan informasi-informasi penting terkait dengan gempa tadi pagi.
Radio. Ya, untung Hasna punya radio bertenaga baterai di kios. Saat itu aliran listrik di daerah Bantul dan bagian selatan Jogjakarta diputus oleh PLN, demi keamanan. HP juga tidak berfungsi. SMS tidak dapat dikirim dan panggilan telepon tidak dapat dilakukan.
(bersambung)
Cerita ini fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, dan peristiwa, hanyalah kebetulan belaka dan bukan merupakan kesengajaan.
© Sutan Hartanto
Hak cipta dilindungi undang-undang. All Rights Reserved
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H