"Sebenarnya dari siapa Kak Isti mendengar bahwa semua orang harus mengungsi ke keraton?" tanya Darma penasaran.
"Bu Ranti, tetangga sebelah." jawab Isti. "Biasanya memang begitu, setiap ada bencana besar, warga Jogjakarta umumnya pergi berlindung ke keraton."
Darma mengangguk-angguk. Keraton memang punya pengaruh yang sangat dalam bagi kehidupan warga Jogjakarta yang masih kental tradisinya. Tapi rasanya wajar juga bila rakyat Jogjakarta mencari perlindungan kepada rajanya, pada pemimpinnya. Itulah gunanya pemimpin.
"Anak-anak di mana, Kak?"
"Tuh, di belakang lagi main."
"Aku mau lihat mereka."
"Iya, lihat sana. Mereka pasti senang ketemu kamu."
Bergegas Darma berjalan ke tempat yang dimaksud Isti. Di belakang kios kontrakan itu memang terdapat halaman yang lumayan luas. Halaman itu merupakan halaman samping rumah induk, tempat pemilik kios itu tinggal. Tempat itu cukup teduh di bawah naungan pohon rambutan dan pohon mangga yang usianya sudah puluhan tahun. Jika pohon-pohon itu berbuah, Tono dan keluarganya pasti kebagian buahnya.
Pak Ranu, pemilik rumah itu, memang baik dan ramah orangnya. Anak-anak suka padanya. Jika Isti mengajak anak-anak ke kios, mereka pasti menghabiskan waktunya di halaman itu, entah bermain dengan Pak Ranu atau bermain sendiri. Pak Ranu yang sudah pensiun dan tinggal hanya dengan istrinya yang juga sudah tua dan jarang beranjak dari tempat tidur itu dengan senang hati menemani, atau sekedar mengawasi anak-anak bermain. Mereka bisa menjadi pengobat rindu pada cucu-cucunya yang tinggal di pulau seberang. Tiga orang anaknya memang mengadu nasib di rantau. Yang sulung bekerja di Palembang, di perkebunan kelapa sawit. Adiknya di Samarinda, menjadi PNS yang kebetulan ditempatkan di sana. Yang bungsu buka usaha kecil-kecilan di Kupang.
"Hai," sapa Darma sesampainya di halaman yang sejuk itu.
Anak-anak yang sedang bermain sudamanda itu menoleh serentak. Begitu tahu siapa yang menyapa, mereka segera meninggalkan permainannya dan berlari menghambur ke pelukan Darma. Darma hampir terjatuh dan dengan kewalahan berusaha mempertahankan keseimbangannya waktu anak-anak menubruknya. Dengan tertawa senang ia memeluk keponakan-keponakannya itu.