Malam sekitar jam 20.30 di Jalan Monjali, Jogja. Hujan gerimis, tidak terlalu deras tapi cukup deras untuk memaksa pengendara motor memakai jas hujan. Saya melarikan motor dengan kecepatan sedang. Pulang dari suatu acara, saya memang tidak tergesa-gesa saat itu.
Toko-toko di kiri kanan jalan sudah banyak yang tutup. Beberapa warung makan, kios rokok, laundry dan warung kecil-kecil masih ada yang bertahan. Memang belum terlalu malam.
Lewat di sebuah kios fotokopi, saya mendadak teringat. Ups, ada yang perlu difotokopi, yaitu KTP. Saya berhenti, memutar motor, kembali ke kios itu. Saat itu sepi, jadi saya tidak perlu mengantri.
Saya mengeluarkan KTP. "Dua kali, Mas," order saya singkat. "Yang depan aja."
"OK, Mas," jawab mas tukang fotokopi. "Dipotong?"
"Yak," jawabku singkat.
Dan seperti seharusnya, dia memfotokopi KTP saya dan memotong salinannya seukuran KTP. Saya mengeluarkan seribu perak dan memberikan kepadanya.
"Wah, yang kecil saja mas, ndak ada kembaliannya."
"Berapa mas?"
"Dua ratus rupiah."
Saya mencari-cari di sudut-sudut dompet, di saku dan di tempat lain yang mungkin terselip koin seratus atau duaratusan.Ada koin tapi seribu perak juga.
"Waduh, nggak ada mas."
"Ya udah nggak papa, kapan-kapan aja mas."
"Wah.....ya udah makasih mas, besuk ya."
"Santai aja mas, kapan-kapan aja."
Saya tersentuh dengan kebaikan orang itu. Saya terharu, dipercaya berhutang tanpa jaminan apa-apa. Tanpa sertifikat tanah atau BPKB, tanpa survey, tanpa tandatangan di depan notaris, dan bisa bayar kapan-kapan. Dia bahkan belum tahu nama saya. Sekali lagi saya mengucapkan terimakasih, dan pergi dengan janji dalam hati, bahwa besuk saya akan bayar hutang itu.
* Sudah saya bayar barusan. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H