Saya menulis artikel ini sambil mendengar (bukan mendengarkan) sinetron "Tujuh Manusia Harimau" yang ditayangkan RCTI.
Itulah salah satu kelebihan sinetron Indonesia, kita bisa mengikuti ceritanya hanya dengan mendengarkannya. Kalau kita menonton tayangan sekelas film-film yang dibintangi Robert de Niro dan Al Pacino (misalnya Heat, The Deer Hunter, Scent of a Woman), atau film rumit seperti Inception, atau film-film Garin Nugroho, jangan harap bisa memahami dan menikmati ceritanya hanya dengan mendengarkannya.
Kebanyakan sinetron Indonesia, meskipun tertayang di televisi yang notabene menyuguhkan tayangan audiovisual, bisa disimak layaknya sandiwara radio. Setiap rincian adegan, hampir sekecil apa pun, selalu dinyatakan atau disertai dengan bahasa verbal. Bahkan saat seseorang sedang berpikir atau membatin pun, untuk hal yang super jelas sekali pun, selalu disertai dengan bahasa verbal, yaitu "suara hati". Misalnya, seorang gadis kebetulan bertemu dengan orang yang dibencinya di jalan (bagi pemirsa, sudah jelas terinformasikan dalam adegan sebelumnya bahwa mereka saling membenci). Gadis itu akan pasang muka cemberut atau bermusuhan (yang memperjelas situasi bahwa mereka saling membenci). Sutradara merasa masih harus memperjelasnya dengan menambahkan suara hati sang gadis, 'Huh, dia lagi dia lagi! Aku benar-benar membencinya.'
Ada beberapa perkiraan alasan, mengapa para sutradara (atau produser) sinetron-sinetron itu memilih gaya penyajian di atas.
Pertama, mungkin mereka menganggap bahwa penonton (atau calon penonton) sinetron mereka kurang cerdas atau agak malas berpikir, sehingga mereka merasa harus menyajikan tayangan yang langsung bisa dipahami begitu tersaji, tanpa harus berpikir.
Film-film berkelas yang dicontohkan di awal tulisan ini, dibuat dengan pemahaman bahwa calon penonton film mereka cerdas dan menyukai keharusan dan tantangan untuk menggunakan pikiran (selain mata dan telinga) untuk memahami dan menikmati film mereka. Karena itu, film-film tersebut terlihat efisien dan optimal dalam memanfaatkan potensi media sajiannya (yaitu audiovisual), serta kemampuan berpikir penontonnya. Cerita atau pesan yang bisa disajikan secara visual cukup disajikan secara visual, misalnya dengan kejadian, situasi, aksi atau sekedar ekspresi pemerannya. Sulit dibayangkan bahwa kita akan mendengarkan "suara hati" dalam film-film yang dibintangi oleh Robert de Niro atau Meryl Streep. Sudah tentu sang sutradara akan memanfaatkan kepiawaian dramatik para aktor itu untuk mengekspresikan pesan tersirat yang dalam sinetron Indonesia akan disajikan dalam bentuk suara hati sepanjang satu halaman naskahnya.
Coba simak adegan di terowongan dalam film Heat (mulai menit 2:25:00, ada di Youtube). Saat itu Neil (diperankan Robert de Niro) sudah siap mengakhiri petualangannya di dunia kejahatan, dan akan menghabiskan masa pensiunnya di daerah selatan dengan kekasihnya. Semua sudah diatur, dan mereka berdua dalam perjalanan ke sana. Lalu Neil mendapat informasi via telpon tentang keberadaan bekas anak buahnya yang berkhianat dan akan dia hukum. Terjadi pergolakan batin yang pelik dan dahsyat. Apakah Neil akan meneruskan perjalanannya, hidup bahagia dengan kekasihnya di daerah selatan yang hangat, atau kembali untuk menghukum mantan anak buahnya, dengan resiko ditangkap petugas (diperankan Al Pacino) yang sangat mengincarnya, dan rencana pensiunnya gagal.
Pergolakan batin itu disajikan dengan sangat apik dalam sebuah adegan tak sampai dua menit, hening mencekam, hanya mengandalkan perubahan raut muka Neil yang terjadi berangsur dan berbicara lebih banyak dari ribuan "suara hati" (dalam hal ini, de Niro memang jagonya), diakhiri dengan Neil yang mendadak memutar mobilnya (disertai suara mobil berputar yang berdecit menggiriskan). Susah dibayangkan adegan semacam itu bisa kita saksikan dalam sinetron Indonesia.
Baik, perkiraan alasan kedua adalah, sutradara atau siapapun pembuat sinetron-sinetron itu memang kurang kompeten atau kurang kemauan/kesungguhan untuk sedikit repot, bereksplorasi dan mencari ragam penyajian cerita yang pantas dan berkualitas.
Perkiraan alasan ketiga, entahlah. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H