Tidak cukupdengan sindiran jumlah referensi bacaan dalam menulis, Pramoedya mulai pada yang berikutnya:
“Kau berasal dari mana?” Alis kiri Pram terangkat sedikit seakan perlu mengulang tanya nama lengkapku di tengah pembicaraan yang mengasyikan.
“Sumatera Barat.” Jawabku mulai hati-hati. “Ranah Minang,” tambahku
“Hmm..” Senyum Pram mengembang. Dihisapnya rokok dalam-dalam.Kemudian ia ceritakan kisah lucu yang sedikit porno. Kuperhatikan, gigi Pram sebagian besar berubah warna akibat zat nikotin yang dihisapsetiap hari lewatrokok.Namun, meski banyak rokok yang dihisap Pram, ia mengaku rajin menguyah bawah putih. Agar kuat, katanya.
Ia begitu yakin, diabetes dan gangguan sakit jantung dapat dilawan dengan menguyah sejumlah bawang putih mentah-mentah setiap hari!
Pram menceritakan kisah Buya Hamka. Ia memulai denganawal pujian terhadap Hamka yang membuat ceritanya menarik.
Hamka, mahir sekali membuat jamaah yang menjadi pendengar dalam sebuah kesempatan berdakwah.Sampai-sampai ia melihat, bagaimana seorang lelaki kurus kerempeng dan berumur menangis tersedu-sedu saat mengikutiisi ceramah Hamka yang berisi pesan dosa dan pahala. Apakahlelaki itu sadar akan dosa-dosanya?
Tidak, jawab Pram. Ia melanjutkan alibi atas pertanyaan yang diajukannya sendiri. Selidik punya selidik, katanya, ternyata lelaki yang meringis dan menangis itu, tengah menahan sakit. Biji pelirnya kejepit saat duduk mendengarkan ceramah Hamka yang berapi-rapi itu.
Aku, lambat memaknai maksud Pram bercerita tentang kisah Hamka. Mengapa saat memberikan ceramah ada yang menangis bukan karena menyadari segala dosa-dosanya?
Setelah pulang dari rumah Pram, kubaca buku referensi terbitan yang sudah lama. Ternyata Pram adalah orang yang menyerang Hamka dalam kasus pembuatan roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Pram menuduh Hamka mengambil ide tulisanorang lain sehingga Hamka dianggap sebagai plagiator.
Adalah Abdullah SP yang menulis “Aku Mendakwa Hamka Plagiat!” sebagai judul resensi-essei yang ditulisdi harian Bintang Timur “Lentera” 7 September 1962. Mengamatidari judul, sangat jelassangat provokatif di jaman yang memang sedang bergolak di tahun 60an sehingga resensi yang ditulis oleh Abdullah SP menjadi salah satu resensi yang melegenda selama bertahun-tahun, apalagi separuh halaman “Lentera “ Bintang Timur saat itu disediakan untuk mengupas karya Hamka yang fenomenal itu.Konon, Abdullah SP adalah nama samaran Pramoedya AT.
Ah, Pram memang masih komunis, pikirku tentang lelaki hebat di depanku yang dibebaskan 21 Desember 1979 dari Pulau Buru….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H