Bukan Pram namanya bila tidak lihai dalam menyindir.
Lelaki di depanku hanya mengenyam pendidikan sampai setingkat kelas 2 SMP. Namun sejarah mencatat ia di kemudian hari mendapat gelar doktor kehormatan dari luar negeri di ujung usianya. Ia bahkan sempat menjadi dosen sastra di salah satu universitas swasta bergengsi di tanah air.
Pengakuan yang sering selalu diulang dalam berbagai kesempatan, mahasiswa ditugasi mengkliping berita-berita tematik dari koran dan media cetak lain. Hal yang sama kulihat di ujung kamar, sosok Maimunah istrinya tengah asyik menggunting tumpukan suratkabar yang telah diberi tanda oleh Pram.
Dalam percakapan itu, Pram menyampaikan pentingnya menghargai sejarah. Rekam jejak sejarah antara lain ia dapatkan dari suratkabar yang mencatat semua peristiwa pada hari demi hari.
“Kau berapa banyak membaca koran? Tanya Pram.
“Hanya Kompas,” jawabku.
“Hmm, terlalu lambat untuk maju bila hanya membaca satu koran. Aku di sini membaca semua koran utama nasional.” Ia basuh tangannya sehabis menyapu dan membakar sampah di depanserambi rumah Jalan Multikarya, Utankayu, Jakarta Timur.
Mukaku memerah.
*
(Aku menyeringai membayangkan sindiran Pram. Bus Jakarta – Bukittinggi terus berjalan). Kulihat wajah muda di bayang kaca bus antar propinsi. Hmm, aku suka dengan senyum anak muda yang satu ini....Memuji diri sendiri)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H