Kembali ke Pilkada lewat DPRD rasanya perlu dilakukan dengan evaluasi yang ketat, bukan Pilkada langsung dengan 10 syarat yang diajukan oleh Partai Demokrat. Sebab, sebelum lahir Partai Demokrat, Suta widhya dkk sudah lebih dahulu menjadi pioner di DKI Jakarta dengan mengajukan Pilkada langsung. Jadi, janganlah Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketum Partai Demokrat merasa kecewa, karena Suta Widhya dkk pastilah lebih kecewa karena ia bersama Ratna Sarumpaet, Mulyo Wibisono dan puluhan Cagub DKI Jakarta 2002 sudah memelopori Pilkada langsung. Mereka semua merasa Pilkada langsung lebih demokratis. Padahal semua ternyata lebih parah lagi. Pilkada langsung lebih lebih liberal, karena para bandit dan koruptor pun bisa mencalonkan menjadi eksekutif dengan modal besar yang dimilikinya. Tukang becak sama suaranya dengan seorang profesor sekalipun, dimana harga 1 suara berkisar Rp,50.000 sampai Rp.100.000. Lihatlah kemenangan Jokowi - Ahok di Pilkada langsung, sangat spektakuler, dimana hanya dengan modal uang dan sedikit polesan wajah kerakyatan dan kekuatan modal besar di publikasi media massa mampu mengelabui masyarakat miskin kota. Mereka terbius dengan iming-iming perubahan dan bayaran langsung seharga 5 bungkus rokok kretek sehingga lebih memilih Jokowi yang tidak jelas komitmennya dalam membangun Jakarta. Inilah salah satu money politic yang dibungkus dengan penampilan kerakyatan ala Jokowi.
Apabila komitmen Koalisi Merah Putih (KMP) ingin menjaga demokrasi Pancasila yang menempatkan musyawarah di atas segalanya, maka hendaknya kita sebagai rakyat menitipkan amanah kepada mereka, agar mencopot wakil rakyat yang tidak amanah kepada rakyat. Yaitu dengan membuat mekanisme eksaminasi kedudukannya di Dewan apabila kinerjanya tidak produktif dan koruptif.
Apabila KMP mampu memenuhi kondisi di atas, maka Pilkada lewat DPRD lebih menghemat dan dijamin lebih bermutu. Jadi, kembali Pilkada Lewat DPRD itu lebih baik, asal dilakukan perbaikan sana-sini. Presiden SBY yang juga Ketum Partai Demokrat mengatakan, bahwa Pilkada Langsung membutuhkan 50 milyar per Pilkada, sedangkan bila lewat DPRD hanya 500 juta saja. Bayangkan, berapa triliun dana APBN dapat dihemat bila kita kembali kondisi semula saat Orba berkuasa? Jokowi seharusnya berterimakasih, karena secara tidak langsung ia diuntungkan dengan diberi jalan menghemat APBN tanpa harus menaikkan harga BBM di era kekuasaannya 5 tahun mendatang. Namun, apabila Jokowi masih berkilah dengan keinginannya yang tetap menghendaki Pilkada langsung,maka siap-siaplah ia di-impeach!
Hendaknya, Kementrian Dalam Negeri mempublikasikan hasil Pilkada Langsung selama ini apa saja keuntungan dan kerugiannya. Sosialisasikanlah semua kerugian finansial dan mentalitas rakyat yang dipermainkan oleh janji-janji maya para calon Pilkada Langsung. Padahal, terus terang Pilkada langsung membuat repot rakyat untuk datang ke TPS-TPS dibanding rajinnya mereka menerima kaos, spanduk, stiker dan "ampao" dari para kandidat.
Oya, berharap Presiden SBY membuat Perpu atau berharap MK akan membatalkan UU Pilkada lewat Dewan, bagi kami sama saja memperpanjang urusan yang tidak perlu diperpanjang. Begitu saja kok repot!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H