Walau sudah sangat jelas karakter manusia Indonesia sering memakai "gaya katak", yaitu berlomba-lomba mendapatkan sesuatu kenikmatan, penghargaan, atau materi dan imateri lain, namun tetap saja tidak akan membuat puas manusia Indonesia meski menginjak orang lain. Sudah dapat HL di Kompasiana.com sekali, tetap ingin mendapatkan lagi yang kedua dan seterusnya. Hal demikian pula yang terjadi pada diri  Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono sekaligus sebagai Presiden RI yang kini dituntut untuk menyusun sistem nasional dan konsensus bagi masa depan Indonesia bukan monopoli elite politik semata tetapi juga memberi ruang diskusi dan wacana terbuka dari publik yang harus terakomodasi bagi semua pihak agar ikut serta mewujudkan sistem nasional bagi Indonesia di masa datang.
Maukah para politisi bermain bijak dalam politik? Setahu saya, politik adalah how to get power and how to manage power. Sehingga tidak heran, sekalipun gaya katak, dengan cara menginjak orang lain baru mengayuh ke depan, semua itu tidak bisa dihindari.
Harapan Presidium Dewan Forum Persatuan Nasional Oesman Sapta yang meminta Yudhoyono sebagai Presiden RI untuk mengambil sikap bijak terkait dengan wacana peningkatan ambang batas kursi di DPR (parliamentary threshold) menjadi 2,5 persen sebenarnya hal yang biasa.
Namun, apakah Forum Persatuan Nasional yang merupakan gabungan 17 partai kecil dan tidak memiliki wakil di DPR dan yang mendukung SBY-Boediono akan menerima "power sharing" sejak SBY berkuasa dalam periode kedua?
Semua itu akan terlihat apakah SBY mau menjawab dengan tindakan konkret? Meski ia menyadari, bahwa gara-gara diberlakukannya PT 2,5% sebagai ambang batas pada Pemilu 2009 menyebabkan  gabungan 17 partai kecil dengan 18 persen suara yang setara dengan 19 juta suara yang tidak diakomodasi karena sistem aturan yang merugikan partai-partai kecil.
Memang dalam soal Parliamentary Threshold nampaknya SBY setuju agar para politisi parpol memikirkan itu semua. Menurut SBY bahwa bahwa semua pelaku, pemangku kepentingan, pemerintah, DPR, DPD tidak boleh monopoli apa pun. Hal itu dikatakan dalam SBY di Puri Indah Cikeas, Nagreg, Bogor, Jawa Barat, Minggu (5/9/2010) tentang perlunya semua pihak membuka ruang publik yangsemakin luas untuk itu. Tapi, benarkah SBY rela dengan ide yang mengandung asas gotong royong itu? KIta lihat saja perkembangan saat ini.
Yang jelas, partisipan tidak harus menerima penyakit ambeiyen demi mendapat HL di Kompasiana.com karena berlama-lama duduk demi menginput naskahnya di kompasiana.com dan para politisi dari partai gurem tidak harus menerima ambeiyen karena menunggu lama di bangku Cikeas dalam setiap isu reshuffle.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H