Rencana Rabu (10/9) PN Jakarta Selatan akan memutuskan hukuman bagi Guntur Bumi (UGB). Menurut pengamat hukum JJ Amstrong Sembiring SH MH pada Selasa (8/9) siang di Jakarta :
HAKIM BISA MENJATUHKAN HUKUMAN MELAMPAUI TUNTUTAN JAKSA PENUNTUT UMUM
Berdasarkan dari berbagai sumber media disebutkan : Susilo Wibowo atau yang dikenal dengan nama Ustaz Guntur Bumi (UGB) hari ini dituntut jaksa empat bulan penjara dalam kasus penipuan berkedok pengobatan alternatif.Sidang yang berlangsung selama kuraang lebih 30 menit itu berisi pembacaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. UGB dikenakan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penipuan, Pasal 379 ayat a KUHP tentang Penipuan untuk Mata Pencaharian, serta Pasal 289 KUHP tentang Pencabulan.
Dalam konteks ditas tersebut, maka ada beberapa Asas perlu diperhatikan dan terdapat dalam Hukum Acara Pidana, yakni diantaranya :Asas Trilogi Peradilan, Asas Praduga Tak Bersalah (Presumtion Of The Innocence),Asas Persamaan Dihadapan Hukum, Asas Legalitas Formal, Asas Oportunitas, AsasBantuan Hukum, Asas Pemberian Ganti Rugi Dan Rehabilitasi, Asas PengadilanTerbuka Untuk Umum, Asas Absentia, Asas Perintah Tertulis, Asas PembuktianMenurut Undang-Undang Secara Negatif, Asas Batas Minimum Pembuktian, AsasKeseimbangan, Asas Saling Koordinasi, Asas Pembatasan Penahanan, Asas DiferensiFungsional, Asas Penggabungan Pidana Dengan Tuntutan Ganti Rugi, Asas Unifikasi,Asas Pengawasan Putusan, Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan.
Berdasarkan Asas-Asas tersebut, bahwa tidak adanya asas yang mengatur dapat tidaknya Hakim menjatuhkan hukuman melampaui Tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Dengan demikian Hakim tidak melanggar Asas Hukum Acara Pidana.
Berdasarkan hal diatas maka dapat ditarik kesimpulan yaitu sebagai berikut :
a. Pertimbangan Hakim dalam mengambil Putusan yang melampaui Tuntutan Jaksa Penuntut Umum adalah hal-hal yang memberatkan Terdakwa dan keadaan Terdakwa, serta hal yang terpenting adalah “adanya bukti yang menyatakan kesalahan dari terdakwa”.
b. Berdasarkan Asas-Asas Hukum Acara Pidana yang telah terurai diatas maka Hakim tidak melanggar asas-asas beracara pidana, karena tidak ada asas yang menentukan dapat tidak Hakim menjatuhkan Putusan yang melampaui Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Kemudian dalam Pertimbangan Hakim dalam mengambil Putusan yang melampaui Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, adalah Hal-hal yang memberatkan, yakni diantaranya :
a.Residivis (Pengulangan Tindak Pidana), bahwa terdakwa pernah melakukan tindak pidana dan telah dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya terdakwa telah melakukan perbuatan yang berulang. Undang-Undang sendiri tidak mengatur mengenai pengulangan umum (general residive) yang artinya menentukan pengulangan berlaku untuk dan terhadap semua tindak pidana. Mengenai pengulangan ini KUHP menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangan hanya terbatas pada tindak pidana-tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam Pasal 486, 487, 488 KUHP dan diluar kelompok kejahatan dalam Pasal 486, 487 dan 488 itu, KUHP juga menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi pengulangan, misalnya Pasal 216 ayat (3), 489 ayat (2), 495 ayat (2), 501ayat (2), 512 ayat (3).4
b. Perbarengan tindak pidana termasuk Perbuatan yang dilanjutkan, Mengenai perbarengan tindak pidana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 63 sampai dengan Pasal 65 KUHAP yang pada intinya menyatakan bahwa “jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat serta ditambah sepertiga”.
c. Sikap terdakwa berbelit-belit dalam memberikan keterangan, dalam hal pemeriksaan terhadap terdakwa di Persidangan, terdakwa dalam memberikan keterangannya, terdakwa berbelit-belit, maka dari itu penjatuhan hukuman terhadap terdakwa dapat diperberat.
d. Hal yang melatarbelakangi terdakwa dalam melakukan tindak pidana, dalam hal ini contoh yakni mencuri dengan maksud memenuhi kebutuhan hidupnya, akan berbeda perlakuannya atau penjatuhan pidananya terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana dan merupakan mata pencahariannya.
e. Sikap batin dari terdakwa dalam melakukan tindak pidana membalas dendam, misalnya pembunuhan seperti pada awalnya korban dan pelaku tindak pidana bentrok, suatu saat pelaku menunggu waktu yang tepat untuk melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap korban.
f. Dampak dari perbuatan terdakwa, yaitu diantaranya perbuatannya meresahkan masyarakat, besarnya kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan terdakwa.
“PERLU” EKSAMINASI PUTUSAN PENGADILAN
Dalam konteks produk peradilan (putusan perkara di pengadilan) maka perlu eksaminasi berarti melakukan pengujian atau pemeriksaan terhadap produk-produk tersebut. Eksaminasi sering dilakukan terhadap produk peradilan yang menyimpang.
Oleh karena itu perlu adanya eksaminasi, dimana eksaminasi dapat dilakukan terhadap perkara pidana, perdata atau niaga. Di luar bidang tersebut tetap dimungkinkan untuk dieksaminasi. Suatu perkara untuk dapat dieksaminasi minimal harus memenuhi 3 (tiga) kriteria: Pertama, Dinilai sangat kontroversial, baik dari segi penerapan hukum acara dan atau hukum materiilnya serta dianggap bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Kedua, Memiliki dampak sosial yang tinggi (social impact). Perkara tersebut mendapat perhatian yang luas dari masyarakat, memiliki dampak langsung ataupun tidak langsung merugikan masyarakat, misalnya Perkara korupsi dan HAM. Ketiga, Ada indikasi korupsi (judicial corruption) atau mafia peradilan sehingga hukum tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
Fenomenal tidak profesionalitas hakim dalam memutus perkara, demikian juga Jaksa sudah bukan rahasia umum lagi. Fenomena tersebut dapat kita tangkap sinyalemenen tersebut, dan jika meminjam istilahnya Busyro Muqodas saat menjadi pimpinan ketua Komisi Yudisial, mereka memainkan pada teknis yudisial, seperti mengubah pertimbangan hukum tidak sesuai fakta,” Komisi Yudisial sendiri pernah mengakui ada sejumlah hakim yang menjadi bagian dari mafia peradilan.
Apalagi degradasi moral hakim pada saat ini terus menerus mengalami penurunan kualitas atau degradasi dan tampak semakin tidak terkendali. Penurunan kualitas moral terjadi dalam segala aspek mulai dari tutur kata, cara pandang hingga perilaku, kita ambil saja salah satu contohnya saja ada hakim PN Jakarta Barat dimana saat sidang perkara berjalan sambil mainan handycam dan seterusnya masih banyak lagi.
Degradasi moral hakim merupakan salah satu masalah krusial sosial bagi pencari keadilan yang perlu mendapat perhatian baik dari pemerintah/ lembaga terkait secara khusus serta masyarakat luas pada umumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H