Guwa bukan Batak, tauk! Demikian bantahan seorang kawan yang berasal dari Kabanjahe, Sumatera Utara. Ia menjelaskan, sejak kecil tidak pernah mengenal opung ataupun inang. Yang ia tahu, adalah bolang, untuk memanggil “kakek” dan nandeh untuk memanggil ibu (Minang: mandeh). Ya inilah fakta laten yang seharusnya dibuka, bahwa Karo merupakan bangsa tersendiri dari bangsa-bangsa yang ada di Sumatera Utara. Dimana mereka ada yangt terdiri dari sukubermarga Tarigan, Ginting, Sembiring, Karo-karo. Ada beberapa hal yang merupakan salah faham tentang suku Karo. Pertama banyak orang menyebut orang Karo itu orang Batak. Padahal itu tidak benar. Demikian diungkapkan Juara Ginting dalam acara Dimensi. Pengakuan Ginting menyangkut eksistensi yang patut diakui dan dihormati oleh siapapun. [caption id="attachment_165914" align="alignright" width="300" caption="Rumah Karo, sama indahnya dengan rumah Batak"][/caption] Kita tahu, eksistensi diajarkan dalam aliran filasat yang pahamnya berpusat pada individu yang bertanggung jawab pada kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Ini bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, namun mempertahankan eksistensialis dengan mengakui bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Dalam tradisi filsafat Barat, eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam mempersoalkan keberadaan manusia yang dihadirkan lewat kebebasan. Daneksistensialisme adalahsemata kebebasan, sehingga eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri. Apa yang dikatakan suhu filsafat eksistensialisme, Jean-Paul Sartre dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas. Menurut Sartre, dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain. Sehingga, wajar saja bila kawanku menolah dikatakan Batak, oleh lawan bicaranya.Di jaman Orba, eksistensi Karo dieleminir seolah Batak itu juga meliputi Karo, padahal dari segi bahasa dan adat istiadat sangat berlainan. Mungkin, hanya Papa SP yang menolak keduanya. Beliau tidak mau disebut Batak ataupun Karo, meski lahir di Kabanjahe. Mengapa begitu? Karena kakek dan nenek SP saat itu merantau ke Kabanjahe, dan pada tanggal 5-5-1935 lahirlah papa SP....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H