Penyesalan biasa datang belakangan. Oleh karena itu orang bijak selalu mengatakan pikir dulu pelita hati. Mungkin ini yang dirasakan oleh Tengku Zulkarnain(14/8/1963) yang mengawali kebencian pada Presiden Soeharto sejak kecil. Begini penuturannya dalam buku Pak Harto: The Untold Stories Meski Syekh Azro’i Abdul Rauf pernah mengatakan pada dirinya, bahwa suatu kali Tengku akan bertemu dengan Presiden Soeharto. [caption id="attachment_142539" align="aligncenter" width="240" caption="Tengku Zulkarnain,Pak Harto:The Untold Sories (p.590)"][/caption] “ Bila kau lihat wajahnya suram, segeralah menjauh. Namun jika terlihat berseri-seri, itu pertanhda beliau orang yang benar dan jujur.” Demikian pesan guru besar Al-Quran sambil menunjuk wajah Zul di depan kelas. Tentu saja Zulkanain muda tidak percaya! Apalagi saat muda ia sangat membeci Pak harto, sehingga waktu kuliah (1982)saat mendapat kepercayaan membawakan buket bunga untuk menyambut kedatangan Presiden Soeharto ke Kampus Universita Sumatera Utara, ia menolak sehingga orang lain yang menggantikan. Sejalan dengan bergulirnya waktu, begitu Zul menjadi sarjana dan berdakwah ke daerah terpencil di seberang Bukit Barisan dengan memakai perahu, ia mendapati sebuah perkampungan yang hanya 30 KK saja. Mengapa mereka tidak pindah saja dan betah tinggal di daerah terpencil? Perntanyaan hatinya terjawab, ternyata di daerah terpencil itu ada Puskesma dan SD Inpres.Ini adalah fasilitas yang dibangun pemerintah. “Bila Pak Harto jahat seperti yang jahat, mengapa mau melakukan ini semua?” Zul membantin. Demikian juga hatinya tergugah saat dakwah di Kepulauan Riau, ia menemukan hal yang sama pada desa-desa terpencil yang dikunjungi. Kekaguman Zul mulai timbul. Saat Zul pergi haji tahun 1997, ia mendapat cerita dari anak PM Bangladesh, yang mana rakyat Bangladesh berterimakasih karena Pak Harto memfasilitasi pendidikan para sarjana perminyakan negaranya di ITB, di Bandung. Bahkan rakyat Bangladesh menganggap Pak Harto sebgai sesepuh bank syariah karena lebih dahulu mendirikan bank syariah di Jakarta dan menjadi contoh bagi mereka di Bangladesh. Sejak itu Zul ingin bertemu dengan Pak Harto. Nah, kebetulan, Mantan Kasad Jenderal (Purn) R.Hartono mengajak Zul bertemu dengan Pak Harto. Begitu ia melihat Pak Harto, ia kaget! Wajah Pak Harto bercahaya, bersih! Keruan saja, Zul menjadi kagum saat menerima salam komando dari pak Harto, apalagi orang sepuh itu memeluknya bak seorang bapak yang sudah lama tidak ketemu dengan anaknya. “Beri saya nasihat, Kyai,” kata Pak Harto ramah. Kontan ia tergagap sebentar,dan ...”Pak, ibarat mutiara, direndam seribu tahun pun, Bapak tidak akan luntur. Saya yakin, tidak sampai 5 tahun orang-orang sudah menyadari kenyataan sebenenarnya. Sekarang ini, mereka bisa menghujat Bapak semena-mena karena belum menemukan pembandingnya.” Zul meminta maaf,” Dulu saya benci pada Bapak, saya sering kali ikut gerakan-gerakan yang menentang kebijakan Bapak.” Pak Harto hanya tersenyum , dan memaafkan kesalahan lelaki muda yang sebaya dengan Tommy Soeharto, putra bungsunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H