[caption id="attachment_210417" align="aligncenter" width="298" caption="Ilustrasi/Admin (AFP)"][/caption]
Dalam penilaian kami, ada 9 (sembilan) hal yang mesti menjadi pelajaran dari pemberitaan penyergapan polisi terhadap orang-orang yang dilansir sebagai pelaku teroris di Solo pada 31 Agustus 2012 lalu.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane telah menyebutkan 3 (tiga) pelajaran tersebut. Ia mengatakan di Jakarta, Minggu 3 September 2012, yaitu:
Pertama, pistol yang disita dari tertuduh teroris yang terbunuh adalah jenis Bareta dengan tulisan "Property Philipines National Police". Padahal sebelumnya Kapolresta Solo, Komisaris Besar Asdjima`in menyebutkan senjata yang digunakan menembak polisi di Pos Pengamanan (Pospam) Lebaran adalah jenis FN kaliber 99 milimeter (mm). Sehingga menjadi tanda tanya, jangan-jangan orang yang ditembak polisi itu bukanlah yang menembak polisi di Pospam Lebaran. Karena bisa jadi masih ada pihak lain yang melakukannya.
Kedua, mengapa Bripda Suherman yang menjadi anggota Densus 88 tewas akibat tertembak di bagian perut. Seolah anggota Densus 88 dalam bertugas yang bersangkutan tidak sesuai dengan "Standart Operational Procedure" (SOP) dengan rompi anti peluru di bagian perut dan dada. Menjadi pertanyaan besar, apa ya pada 31 Agustus 2012 malam itu, ada operasi Densus 88? Bila ya, mengapa anggota Densus 88 bisa teledor bertugas tidak sesuai SOP, tanya Neta.
Ketiga, ada indikasi percepatan perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yangmemerintahkan Kapolri segera meninjau tempat kejadian perkara (TKP). Berbeda sekali, dalam peristiwa-peristiwa sebelumnya, meskisudah telah tiga kali penyerangan terhadap Pospam Lebaran itu, Presiden tidak bersikap seperti itu.
Dari ketiga yang disampaikan Neta di atas, maka berkembang pandangan masyarakat terhadap tindakan penyergapan sebagai upaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingin membangun citra dan menarik simpati publik dari peristiwa Solo. Padahal ketiga insiden penembakan polisi selama Agustus sempat memojokkan Walikota Solo Joko Widodo yang dianggap kurang memperhatikan keamanan wilayahnya demi mengejar ambisi menjadi Gubernur DKI Jakarta.Sekurangnya, dalam lima bulan pertama pada 2012 terjadi 11 polisi yang dikeroyok masyarakat.
Neta mengimbau Polri agar mengubah sikap, perilaku dan kinerjanya. Jangan arogan, represif, memeras dan memungli masyarakat. Polri haruslah bekerja secara profesional dan proporsional.
Keempat, hendaknya Polri mengedepankan transparansi terhadap kekayaan yang dimiliki para petinggi polisi sehingga tidak menjadi fitnah di tengah masyarakat yang sudah semakin apatis terhadap kinerja polisi yang cenderung hanya mengobati saja, bukan mencegah terjadinya tindak kejahatan.
Kelima, hendaknya Polri lebih dekat dengan masyarakat dalam menjaga keamanan.Selama ini terbangun image, bila berurusan dengan polisi akan memakan biaya tinggi. Hilang ayam, akan keluar kambing bila mengadu ke polisi. Anekdot ini berkembang hingga hari ini. Sehingga kadang masyarakat malas melapor ke polisi dan lebih suka mengambil caranya sendiri dalam menghadapi pelaku kriminal di tengah masyarakat, seperti main hakim sendiri.
Keenam, Polri mampu memberikan citra sebagai lembaga bersih korupsi bukan sekedar slogan belaka. Sering kami temui setingkat Kapolres saja bisa memiliki asset kekayaan hingga mencapai belasan miliar. Padahal ia dan istri bukan pedagang, dan tidak ada alasan mendapat warisan.