Mohon tunggu...
Sutan Pangeran
Sutan Pangeran Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bersahabat

WhatsApp 0817145093

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Nikah Muda (Lanjutan ke-5)

11 November 2011   04:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:48 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bus masih melaju di propinsi pertama setelah jauh melaju dari Pelabuhan Bakahuni,Lampung. Ingatanku kembali pada perkataan Pak Hasan. Aneka rasa berkecamuk ingin keluar dari dalam benakku. Hingga kemudian melonjak dan keluar pada perasaan yang kurasakan sepanjang perjalanan pertama Jakarta-Surabaya dari Stasiun Pasar Senen.Masih kuingat, semua itu dalam bus, karena baru setahun lalu.

Seusai EBTA, kami bersembilan orang, termasuk calon tuan rumah Agung berangkat naik kereta ekonomi.

Kuamati, tempat duduk keretapi yang pas-pasan itu dengan bahan mengandung rotan pada bagian dudukan dan punggung kursinya. Enaktidak enak harus disyukuri. Bukankah harga murah, fasilitas rendah? Yang mahal, pasti lebih empuk dan ber-AC?

Aku menikmati benar perjalanan pertama nan paling jauh seusia muda itu. Lebih 800 kilometer bakal ditempuh dalam waktu belasan jam! Asap rokok Gudang Garam Filtermengepul dari mulut Abdul Azis dan Turino yang sesekali saja merokok membuat gerbong 9 seakan menjadi arena tambun, tempat membakar sampah. Tidak ada yang protes kala itu.

Tuiittt!!!

Peluit keretapi dibunyikan oleh petugas. Beberapa detik kemudian kereta melaju meninggalkan Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat menuju Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Terus terang, sebelumnya pernah juga naik kereta waktu menuju Prabumulih, Palembang sebelum melanjutkan ke Lubuk Linggau, tapi itu dulu saat kelas 3 SD waktu salah seorang pamanku menikah di sana. Dan , yang kali ini yang kedua dan tanpa orang tua. Bersama kawan-kawan seakan tiada kecemasan kecuali harus berhemat. Bayangkan, aku hanya membawauang lima puluh ribu rupiah kala itu! Dipotong ongkos kereta saat itu yang harganya delapan ribu lima ratus. Praktis, uangku tinggal empat puluh satu limaratus rupiah.

Aku tidak merokok, hanya menunggu tawaran atau yang diletakkan di meja kecil tergantung di samping jendela kaca keretapi.Lagi pula, Agung menraktir kami masing-masing sebungkus rokok.Lumayan, kuhemat dengan tidak merokok dan cukup menikmati aroma asap mengepul di gerbong. Bila di dalam WC atau sehabis makan saja racun nikotin itu kuhisap.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun