Mohon tunggu...
Sutan Pangeran
Sutan Pangeran Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bersahabat

WhatsApp 0817145093

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menemui Bung Karno di Makamnya

27 Oktober 2011   17:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:25 1774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu tiba keretapi Penataran-Doho dari Malang, hari sudah menunjukkan pukul 12.45 siang. Kamis (27/10) ini skedulku adalah menemui Bung Karno di makamnya. Keluar dari stasiun, para tukang becak mengerumuniku dengan aneka sapa dan tawaran harga yang kurasa kurang pas. [caption id="attachment_138379" align="aligncenter" width="386" caption="Sutan Pangeran di sebelah kirim nisan Bung Karno(tampak harimau timbul di permukaan batu?)"][/caption] "Berapa ke makam, mas?" Tanyaku. "Tigapuluh ribu saja!" Jawab si abang becak. "Memang berapa kilometer dari sini tah?" Tanyaku menyelidik. "Oh, jauh, pak! Ada 3 kilometer!" [caption id="attachment_138426" align="aligncenter" width="383" caption="Di depan patung Bung Karno di areal perpustakaan menjelang berjalan luruh ke atas menuju pendopo makam"][/caption]

"Hmm, kalau segitu jauhnya, saya masih suka jalan kaki," alasanku  untuk menawar harga. "Sudah, sepuluh ribu saja ya?" Pintaku. Yang ditanya, menolak tawaran dan segera menawarkan lagi jasanya kepada para calon penumpang lainnya.

[caption id="attachment_138427" align="aligncenter" width="382" caption="Mendoakan Bung Karno sebagai inspirator perjuangan bangsa ini, bukan Che atau Stalin dan lainnya"][/caption]

Aku mencoba berjalan ke arah jalan raya, tidak jauh dari Stasiun Blitar yang kutempuh lebih dari dua jam dari Malang. Seingatku, kereta berangkat pukul 10.30 tepat dan berhenti 12.40. Menjelang keluar dari stasiun, seorang tukang becak perawakan muda mendekati dan setuju dengan penawaran harga sepuluh ribu sekali jalan. Karena  merasa suka dengan sikap tukang becak yang menawarkan harga tidak terlalu tinggi dan akhirnya sepakat dengan tawaran cespleng satu kali saja, maka kujanjikan pulang balik memakai  jasanya. Di tengah perjalanan mengayuh becak  ia memperkenalkan dirinya bernama Heri.

"Bapak darimana?" Abang becak itu bertanya sebagai pembuka dialog sambil mengayuh becaknya. "Hmm, dari kampung kelahirannya Bung Hatta!' Jawabku sekenanya. "Dimana itu, pak?" Tanya Heri lebih lanjut. "Bukittinggi!" Sengaja kusebutkan sekenanya agar dia tahu dari bagian mana Bukittinggi. "Oh, ya, Sumatera Selatan ya pak?" Aku ketawa dan menjelaskan, "Ya bukanlah, Bukittinggi itu adanya di Sumatera Barat. Becak terus  melanjutkan perjalanan menyusuri jalan raya. Sepanjang jalan Heri menjelaskan tempat-tempat penting seperti dimana rumah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Boediono waktu kecil dan sekolah di Blitar. Anehnya, tidak kulihat ada angkot lalu lalang, sehingga kutanya mengapa tidak ada angkot di Blitar. Dengan sederhana ia menjawab, bahwa semua itu adalah kebijakan dari para pemimpin di Blitar  yang mengayomi wong cilik dengan melarang angkot merajalela di kota. Tukang becak menjadi primadona angkutan jarak pendek. Padahal sekiraku, pastilah ada rute angkot yang lewat, namun hingga menjelang makam tidak juga kutemukan ada angkota yang lalu-lalang. Begitu melewati terminal, Heri bak guide profesional mengatakan, bahwa semua bus wisata yang membawa penumpang akan mangkal di situ sehingga tukang becak atau berjalan kaki (kalau mau) saja yang menjadi alternatif  hingga ke makam Bung Karno yang terletak  di Jalan Ir.Soekarno. Setiba di dalam  areal makam, kusempatkan berfoto di berbagai fokus yang menarik seperti patung Bung Karno di areal  perpustakaan Bung Karno dan  relief sejarah Bung Karno. Begitu tepat menjelang masuk gapura yang memasuki areal pemakaman, si abang becak mulai   tampak ragu dengan mengatakan, bahwa nanti minta tolong  saja memetikkan foto pada orang ditemui di makam pasti dibantu, katanya. "Tidak apa-apa, temani saya saja sampai ke dekat pusara Bung Karno karena sampeyan telah mahir menggunakan HP kameraku," kataku beralasan. Dan benar saja dugaanku, nyali tukang becak ciut juga saat di pendopo yang di sana terbujur jasad Bung Karno, Presiden Republik Indonesia yang pertama. Ia tidak berani naik ke bangunan sejenis pendopo itu. Ia mengatakan bahwa dirinya hanyalah tukang becak dan sungkan naik ke pendopo kepada penjaga makam. Namun, kudengar Pak Sokib, penjaga makam Bung Karno, menganjurkan untuk menemaniku hingga tuntas. Hingga terekamlah semua moment-moment nyekar Sutan Pangeran kali ini. [caption id="attachment_138428" align="aligncenter" width="320" caption="Pendopo makam Bung Karno ramai dikunjungi peziarah dan wisatawan"][/caption] [caption id="attachment_138429" align="aligncenter" width="562" caption="Prasasti Makam Bung Karno"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun