[caption id="attachment_296904" align="alignnone" width="272" caption="Maninjau, Google.com"][/caption]
Nun jauh di sana, saat para sutan belum lahir dan belum bernama terdapatlah sebuah daerah dengan panorama yangberaneka ragam warnanya. Ketika penduduk yang tinggal di sana menyukai warna emas, maka terciptalah padi yang menguning yangdapat mengeyangkan perut para petani, pedagang, dan lainnya. Dulu, di sebuah daerah di sumatra barat, ada gunung berapi yang sangat aktif bernama Gunung Tinjau. Begitu aktifnya sang gunung, sehingga ia sangat sensi (sensitive) dengan doa-doa orang yang teraniaya.
Alkisah, terdapatlah sebuahdesa di kaki saudara Tinjau dimana tinggallah sepuluh orang anak manusia yang terdiri dari sembilan laki-laki dan satu perempuan. Warga di sekitar tempat mereka tinggal acok (biasa) memanggil mereka dengan panggilan Bujang Sembilan. Kesembilan saudara laki-laki ini bernama Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan orang termuda bernama Kaciak.
Sedangkan sang adik yang paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani, dan biasa dipanggil dengan nama Sani. Oleh karena apak dan amak mereka telah lama meninggal, maka yang menjadi tulang pungggungkehidupanmereka adalah Kukuban sebagai putra sulung. Ia menjadi kepala rumah tangga dimana ia menjadi“panjago tiang nan sambilan” agar dapat terus bertahan hidup. Apapun masalah yang terjadi pada adik-adiknya, maka Kukuban lah yang menjadi pengambil keputusan. Untunglah warisan orang tua cukup untuk biaya hidup mereka bersepuluh sehingga dapatmemenuhi segala kebutuhan hidup mereka. Namun demikian, dengan warisan yangcukup itu tidak membuat mereka berleha-leha dalam memenuhikebutuhan hidup merema. Sehingga, tidak ada hari yang tidak diisi dengan kerja di pertanian dan perkebunan, hingga perikanan darat yang dikelola oleh adik beradik tersebut. [caption id="attachment_296906" align="alignnone" width="196" caption="Maninjau. Google.com"][/caption]
Seluruh adik beradik bujang Sembilan mendiami rumah besar warisan kedua orang tua mereka dan mereka kompak memenuhikebutuhan hidup dengan bekerja sebagai penambah-nambah kebutuhan pokok lainnya. Karena merekasudah terbiasa bekerja di pertanian warisan dari orang tua mereka, maka jadilah mereka mejadi petani yang terampil. Apalagi mereka juga dibimbing olehEngku—demikian mamak ( paman) mereka yang bernama Datuk Limbatang biasa disebut.
Sang mamak, Datuk Limbatang tinggal di desa yang sama dan memiliki seorang putera bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang menunjukkanrasa tanggung jawab besar untuk mendidik dan mengawasi kehidupan warganya, termasuk manusia kesepuluh keponakan. Untuk itu, setiap hari, ia mengunjungi rumah saudara Kukuban untuk mengajarkan mereka keterampilan pertanian dan berbagai keahlian lainnya. Agar terjadi tercipta rasa persaudaraan yang erat, makatidak jarang Datuk Limbatang membwa sertal istri dan anaknya untuk berpartisipasi.
Hingga suatu hari, ketika Datuk Limbatang dengan istrinya dan mengunjungi rumah Bujang Sembilan. Sedangkan ,Sani dan Giran diberikan kesempatan untuk melakukan pendekatan. Sani diundang untuk bertemu Giran di sebuah lapangan di tepi sungai. Dengan hati berdebar, Giran berupaya mengekspresikan perasaannya kepada pujaan hatinya, Sani.Iabegitu yakin dengan upaya dalam mendekati pujaan hatinya, Sani, apalagi Datuk Limbatang memang ingin anaknya menikah dengan Sani (pulang ka mamak). Namun, apatah dikata, Kukubantidak setuju dengan niat baik Giran yang mencintai adiknya Sani. Hali itu terbersit di hati Kukuban, lantaran Giran telah mengalahkannya dalam sebuahpertandingan beladiri Minang (silek). Ini dianggap telah mempermalukan dirinya. Tentu saja, keberatan i Kukuban tidak dapat diterima oleh Giran, apalagi ayahnya, Datuk Limbatang, tidak bisa menolong dirinya.
Tibalah hari naas yang tiada diduga-duga. Giran kedapatantengah mengobati luka di paha Sani yang terluka dengan getah pisang. Tetapi orang-orang berpikir bahwa mereka melakukan penyimpangan adat atau norma kesopanan.Sehingga Sani dan Garin dibawa ke pengadilan untuk segera diadili. Walau keduanyaberupayameyakinkan penduduk bahwa mereka tidak melakukan apa-apa sedikitpun, namun masyarakat tidak mempercayai.Merasa terzalimi, segeralah Giran mengangkatkedua belah tanggannya tinggi-tinggiuntuk berdoa , "Ya, Allah, Yang Maha Pengasih, tolonglah dengar dan kabulkandoakamibahwa kami tidakbersalah.Ya, Tuhan hendaknya Engkau tolong dan kabulkan doa kami karena sesungguhnyakamitidak bersalah. Biarlah kamimembenamkan dirike dalam air panas kawah gunung ini. Hanya saja, andai kami tidak bersalah Ya Allah, maka letuskanlah gunung dan kutukan Bujang Sembilan itu agar menjadi ikan!" [caption id="attachment_296920" align="alignnone" width="224" caption="Ikan Maninjau,Google.com"][/caption]
Dengan serta merta Sani dan Giran melompat turun dan tenggelam dalam air kawah dangunung meletus dan membentuk kawah yang luas dan penuh dengan air yang mana sesuai keinginan Giran, kesembilah saudara Sani, Bujang Sembilan menjadi ikan!
Hingga kini, penduduk di sekitar Danau Maninjau yakin, bahwaBujang Sembilan itu hidup di dalam Danau Maninjau,dan sesekali menunjukkan kesaktiannya dengan menelan korban jiwa bagi para pendatang yang datang ke sana dengan kesombongan hati. Untuk itulah, seringpenulis dengar nasehat orang tua agar hati-hati pada saat berenang di danau…..Karena bisa jadi ikan besar jelmaan Bujang Sembilan menyerang para pendatang yang sombong dan menganggap enteng lingkungan…
[caption id="attachment_296909" align="alignnone" width="223" caption="Mesjid Maninjau, Google.com"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H