Mohon tunggu...
Sutan Malin Sati
Sutan Malin Sati Mohon Tunggu... Seniman - tukang saluang hobi barandai

Tukang Saluang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Demokrasi Era SBY Jadi Panutan, Kini Justru Dihiasi Ketakutan

4 Januari 2021   11:33 Diperbarui: 4 Januari 2021   12:14 1054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Sumber: kaskus.co.id/@muhsahadi

Masih ingat reaksi Komika Abdur Arsyad saat seantaro negeri menolak rancangan undang-undang (RUU) Cipta Kerja beberapa waktu lalu? Ya, komika yang sering mengangkat isu-isu sosial ini mengungkapkan ketakutannya untuk menyampaikan pendapatnya di era yang katanya sudah 4.0 ini. Begini penggalan pernyataan Abdur yang viral di media sosial:

"Abdur mana suaramu? Mana kritikanmu? Bagaimana dengan nahkoda kapal tua kita? Ibu pertiwi menangis melihatmu. Dulu saya berani karena presidennya SBY, militer, tapi slow. Ini ada yang katanya slow , tapi rasanya otoriter. Saya bisa apa? Bisa mati! Slow, yang kita lawan ini pintar. Pintar adu domba. Jadi jangan mau jadi domba," ungkap Abdur.

Keresahan yang disampaikan Abdur barangkali menjadi ketakutan yang sama banyak orang. Berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia, sepanjang 16-18 Mei 2020 menunjukkan bahwa 49,5 persen masyarakat Indonesia tidak puas dengan situasi demokrasi Indonesia hari ini. Angka ini merupakan yang terburuk dalam tujuh tahun terakhir dan merupakan salah satu yang terburuk dalam 16 tahun terakhir, pasca reformasi.

Menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia tidak hanya menjadi perhatian publik dalam negeri. Sejumlah catatan lembaga internasional sebenarnya sudah memberikan alert pada pemerintah berkuasa untuk meningkatkan performa demokrasi. Tapi apa mau dikata, Indonesia disibukkan dengan "Kerja, Kerja, Kerja" tanpa berlandaskan data dan fakta.

Dalam catatan The Economist Intelligence Unit 2019, peringkat demokrasi Indonesia menempati urutan ke-61 dengan nilai 6,48, yang artinya Indonesia tergolong sebagai flawed democracy atau negara masih abai terhadap pelanggaran kebebasan sipil. Sedangkan Freedom House, memberikan catatan terhadap kebebasan sipil Indonesia yang mandek di angka 65 sepanjang 2015-2018.

Sementara itu, Human Rights Watch (HRW) mengkritisi 4 isu yang gagal ditangani pemerintah dan terus memicu hal yang sama setiap tahunnya. Keempat isu yang disorot HRW yakni terkait kebebasan beragama, perlindungan terhadap hak asasi perempuan dan wanita, permasalahan di Papua, dan hak disabilitas.

Tak hanya itu, pemerintah hari ini juga disorot terkait kebebasan berekspresi dan distribusi informasi di era media sosial. Menurut SETARA Institute 2019, dari skala 1 sampai 7, kebebasan berekspresi mendapat nilai 1,9. Angka ini merupakan yang terendah dari 11 indikator untuk mengukur HAM. Dalam catatan SAFEnet Indonesia, ada 381 kasus  yang menjerat warga negara dengan UU ITE sepanjang 2011-2019 dan 508 putusan pengadilan yang menggunakan UU ITE. Dari total kasus tersebut, 292 kasus justru terjadi pada 2018.

Demokrasi Era SBY Jadi Rujukan

Tom Friedman pernah menyematkan Indonesia dengan  istilah messy state, negara terpuruk. Tapi, dalam satu dekade pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) anggapan negara terpuruk itu perlahan-lahan mulai berubah. Indonesia berubah menjadi negara yang disegani: sebagai anggota G-20; major democracy, emerging economy, pivotal state, next Asian giant, environmental power; dan lainnya.

Di Amerika Serikat (AS); negara demokrasi tertua di era modern, kala SBY menjabat presiden, Indonesia kerap dijadikan rujukan banyak pengamat internasioal sebagai teladan bagi negara-negara Musim Semi Arab yang kala itu tengah mengalami masa transisi. Dijadikannya Indonesia sebagai rujukan bukan tanpa alasan. Setidaknya ada beberapa alasan, yakni Indonesia merupakan negara demokrasi yang mapan dan stabil, rekor hak asasi manusia yang jauh berbeda dari era sebelumnya, menjadi pelopor perdamaian, dan terkahir positioning Indonesia sebagai pemain global; tidak hanya terbatas pada G-20 tapi juga turut andil pada sejumlah isu internasional seperti lingkungan hidup dan konservasi laut, perubahan iklim, inter-faith, Islamofobia, dan pembangunan.

Dengan pencapaian tersebut, SBY pun diberi berbagai penganugerahan, baik dari dalam maupun di luar negeri. Adapun beberapa penghargaan yang diraih SBY dari dunia internasional terkait transormasi demokrasi yang lebih baik antara lain The Democracy Award, gelar Honorary Knights Grand Cross of the Order of the Bath yang diberikan Ratu Elizabeth II dan World Statesman Award dari Appeal of Conscience Foundation (AoCF). Dari dalam negeri, SBY juga didapuk penghargaan sebagai Bapak Demokrasi dan Sahabat Pers dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Antara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun