Blusukan dan masuk ke dalam gorong-gorong merupakan suatu hal yang telah melekat pada diri Joko Widodo (Jokowi). Hal itu tak dapat dipungkiri. Sebanyak apa pun tokoh politik melakukan hal yang serupa, orang pasti akan menilai hal tersebut meniru-niru Jokowi.
Bahkan saat anak dari darah daging Jokowi (Gibran Rakabuming Raka) melakukan hal serupa, orang tetap saja menilai yang dilakukan Gibran tak lebih dari sekedar meniru dan mengharapkan berkah kepopuleran yang sama dengan Jokowi. Ya, blusukan dan masuk gorong-gorong telah menjadi self branding yang melekat kuat dalam diri Jokowi.
Blusukan dan masuk ke dalam gorong-gorong menjadi popoler saat Jokowi hendak meretas kursi DKI satu. Hal tersebut terus dipertahankannya hingga hendak maju di Pilpres 2014. Dengan aksi ini, Jokowi meraih simpati masyarakat luas. Jokowi dianggap pemimpin yang menjadi bagian dari representasi rakyat kebanyakan kala itu.
Namun itu dulu, kini beda cerita. Dalam penulusuran di Google, terakhir kali Jokowi masuk ke gorong-gorong itu pada tahun 2013. Belakangan Jokowi lebih senang dengan mainan mahal yang identik dengan orang kaya. Mulai dari berwisata dengan anak cucu ke pusat perbelanjaan mewah (mall), berolahraga basket, bermain sepeda motor customs, berburu sneakers, dan lain-lain. Jadi sangat wajar, Jokowi yang berubah 180 derajat itu kini kerap bertentangan dengan kehendak rakyat kebanyakan.
Jika sebelum menjadi Presiden RI, rakyat yang beramai-ramai menghendaki Jokowi menjadi pemimpin negeri, kini justru sebalinknya, ramai-ramai pula gelombang rakyat yang menentang Jokowi. Jokowi hari ini dianggap tak lagi menjadi simbol pemimpin rakyat kebanyak itu, meskipun dalam angka statistik Jokowi berhasil memenangkan hati rakyat di Pemilu 2014 & 2019. Dalam banyak ruang diskursus, Jokowi justru disebut lebih pro kepada kepentingan pemodal. Baik itu kepentingan pemodal dalam negeri maupun asing.
Menanggapi fenomena ini, ada dua hal yang berkemungkinan terjadi pada diri Jokowi. Pertama, Jokowi bisa jadi mengalami "star sindrom". Dalam beberapa kasus, kebanyakan orang yang mengalami star sindrom berujung pada lupa diri dan malas untuk meningkatkan dan mempertahankan prestasi. Analisa ini memungkinkan, melihat karpet merah yang didapatkan Jokowi dari Wali Kota Solo yang dengan mudah merangsek ke Ibu Kota dengan menjadi Gubernur DKI, dan dengan waktu yang cepat pula bisa meluluhkan hati rakyat Indonesia dengan menjadi Presiden RI ketujuh.
Kedua, bisa juga berkemungkinan, selama Jokowi menjadi kepala negara, orang-orang disekitarnya sengaja "menjebaknya" dengan politik "dunia hiburan". Jokowi sengaja dikurung dari informasi-informasi politik mendasar tentang harapan rakyat dan hanya disuguhkan pemberitaan yang membuatnya besar hati dan besar kepala dari media-media "rekanan". Contoh, viralnya pemberitaan cucu sang presiden, nikahan anak presiden, update pakaian nasional, dan lain sebagainya yang tak menyangkut kebijakan.
Barangkali Jokowi tidak sadar dengan dua hal ini. Kegaduhan demi kegaduhan yang dilakukan orang-orang di sekitarnya telah membuat publik gerah. Selain itu, apa yang dijanjikan Jokowi sering meleset, dan tak jarang justru mentah di tangan para pembantunya.
Mengingat hari ini Indonesia sudah diambang krisis (krisis kesehatan & ekonomi terkait Covid-19), sudah saatnya Jokowi kembali khittah-nya, yakni kembali ke gorong-gorong. Membersihkan semua saluran yang tersumbat dan menghilangkan banjir harapan rakyat yang selama ini tak terserap sepenuhnya. Di gorong-gorong pun Jokowi bisa bermain lumpur bau, agar ia kembali mengingat seberapa nelangsanya rakyat hari ini. Jadi, dengan penuh harap, Pak Jokowi kembalilah ke gorong-gorong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H