Jonru. Nama yang bagi sebagian orang identik dengan fitnah ini kembali mencuat di media sosial nasional - bukan hanya di kalangan penggemarnya. Kali ini karena yang bersangkutan menulis artikel yang menggiring opini bahwa foto Jokowi di Raja Ampat adalah hasil rekayasa, yang ujung-ujungnya diasosiasikan dengan pencitraan atau penipuan yang sering mereka tuduhkan kepada Jokowi. Atas hal ini pemilik foto, Agus Suparto, tidak terima dan berencana mempolisikan Jonru. Pertanyaannya, layakkah Jonru dipidana atas perbuatan ini?
Saya sejak awal tidak mengikuti sepak terjang Jonru. Walau demikian, sebagai makhluk media sosial, terkadang muncul juga tulisan atau berita tentang Jonru di lini masa saya. Dulu saya membaca beberapa kali, terkadang muncul juga kegeraman, bukan karena fitnah-fitnah atau tuduhannya kepada Presiden Republik ini, tapi betapa konyolnya logika dan kebencian yang dia pertontonkan dan betapa banyak orang yang termakan. Tapi lama-kelamaan saya biarkan karena pemikiran Jonru itu konsisten bersifat manipulatif, bodoh dan dangkal. Untuk apa saya menghabiskan waktu untuk orang seperti itu?
Perang Kegelapan vs Keterbukaan
Semua sudah tau bahwa melejitnya nama Jonru bermula dari Pilpres 2014, dimana sebgaian besar pemilih terbelah menjadi dua antara pendukung Prabowo dan pendukung Jokowi. Kampanye hitam secara masif dilakukan untuk mendiskreditkan Jokowi. Mulai dari disebut anak PKI, disebut sebagai Cina, boneka Mega dan lain sebagainya. Namun sejarah mencatat akhirnya Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia ke-7. Sayang lebih dari setahun pilpres usai, pertentangan ini sepertinya masih belum mereda, setidaknya di media sosial, dimana Jonru adalah salah satu pengipasnya. Kata-kata hinaan pun diciptakan, termasuk "kecebong" untuk pendukung Jokowi dan "kampret" untuk pendukung Prabowo yang masih dianggap sebagai Jokowi haters.
Namun sebenarnya jika dicermati, pertentangan ini sudah mulai tidak seimbang, khususnya dalam bulan-bulan terakhir tahun 2015. Jokowi sebagai pemimpin yang mengedepankan kesederhanaan dan transparansi mulai menunjukkan hasil dari visi-nya. Sebagian rakyat melihat sepak terjang Jokowi sebagai Presiden yang memilih sebagai pemimpin-pekerja ketimbang pemimpin yang hanya berdiri di mimbar dan memerintah saja. Walaupun belum sempurna - dan saya yakin tidak akan sempurna - tirai-tirai yang biasanya membatasi pandangan rakyat terhadap elite mulai terbuka. Tingka laku pimpinan DPR yang selama ini jauh dari pandangan rakyat mulai terang, termasuk terbukanya skandal lobi-lobi Ketua DPR yang memalukan dengan Presiden Freeport.
Selain itu, gonjang-ganjing di eksekutif berupa kebijakan-kebijakan yang kontroversial, masih lebih kecil magnitude-nya dibandingkan dengan gonjang-ganjing di koalisi KMP. PPP terbelah, Golkar terbelah, PKS sudah mulai mengubah warnanya. Gerindra yang dulu menolak studi banding ke LN tidak berbuat apa-apa ketika Sekjen-nya ke AS dan berselfie dengan Donald Trump, capres rasis AS. Sementara itu, langkah Jokowi untuk memprioritaskan infrastruktur sudah mulai terlihat. Propaganda-propaganda oposisi pemerintah yang berupaya menanam paksa keyakinan bahwa hidup dipimpin Jokowi itu "sulit" dan "hancur" terbantah dengan sendirinya oleh kenyataan-kenyataan sehari-hari. Tiket konser seharga jutaan ludes, liburan macet dimana-mana, tempat wisata penuh. Tak heran ajakan untuk berdemo menyuarakan kesulitan ekonomi selalu bertepuk sebelah tangan.
Jokowi dan beberapa menterinya (semisal Jonan, Susi, dan Suirman Said) memilih untuk membukan jalan transparansi. Lain hal dengan oposisi dan penyuara-penyuara kebencian, mereka seringkali bermain di ruang-ruang gelap, bermain asumsi dan tuduhan-tuduhan atas hal yang belum tentu benar dan tidak diketahui. Bagi yang pendek akal dan sumbunya akan mudah dipengaruhi. Jika diibaratkan, ini sesuai dengan sifat "kampret", keluar dan mencari nafkah di waktu malam di tempat-tempat gelap. Mereka takut terang dan keterbukaan. Sementara itu, para kecebong pada akhirnya akan berkembang menjadi kodok yang akan hidup di alam yang lebih terbuka.
Lingkaran Setan
Sejalan dengan peperangan di dunia nyata antara kegelapan dan keterbukaan, di dunia maya hal yang sama terjadi. Para kampret sebagian besar diwakili oleh mereka yang berlindung di balik kegelapan: akun-akun bodong, akun anonim di fb atau media lainnya, sementara kecebong lebih terbuka: para penulis yang menulis artikel dengan menggunakan jati diri yang terbuka. Begitu juga bentuk tulisannya, penulis-penulis ini mengandalkan nalar dan logika, argumen dengan dasar yang kuat dengan cara yang terkstruktur dan panjang. Skill yang tidak dimiliki oleh umumnya pendukung Prabowo atau Jokowi hater. Mereka umumnya mengarang dengan asumsi, tuduhan, atau sekedar menyebarkan meme hinaan atau share artikel-artikel plintiran. Ada bebeapa yang terbuka informasinya seperti Jonru dan segelintir penulis lainnya, tapi analisanya tidak sebaik penulis logis - yang pada akhirnya akan memahami usaha Jokowi untuk bekerja. Untuk yang terakhir ini bisa disebut seperti Denny Siregar, Hasanuddin Abdurrahman, Erikar Lebang dan sebagainya.
Akun-akun bodong dan Jonru itu berputar-putar menggoreng informasi bak satu tim. Satu memplintir, satu menshare, satu menggebuk lalu menggiring opini pembacanya untuk menggaungkan kebencian. Tak heran jika mereka akan berganti satu sama lain berbagi dan menjadi referensi: Jonru mengambil tautan dari int.co., int.co mengambill dari snews, snews menukil dari piyungan, piyungan dari voa-is, voa-is mengambil dari "sumber-sumber media sosial" (yang tak jelas) begitu seterusnya membentuk lingkaran setan. Informasi-informasi yang saling mereka bagikan itu seringkali tidak ada kenyataannya di dunia nyata, atau jauh dari apa yang terjadi sebenarnya.
Lalu Layakkah?
Kembali ke pertanyaan: layakkah Jonru dipidana atas tulisannya yang menggiring opini bahwa Jokowi (melalui lingkarannya) melakukan penipuan publik? Menurut saya, langkah yang dilakukan oleh Jokowi dan keluarganya sangat baik. Mereka sepertinya paham bahwa akal Jonru itu sangat dangkal, lagipula siapa pula dia untuk dilayani? Seperti disebut oelh orang Inggris: Don't feed the troll. Jangan membesarkan tuyul dengan marah atas tingkahnya. Jokowi dan keluarganya terlalu besar serta waktu dan energi mereka terlalu penting untuk melayani seorang seperti Jonru. Toh orang beriman meyakini apa yang dilakukan oleh Jonru terhadap Jokowi dan keluarganya pasti ada balasannya.
Namun untuk kasus foto Jokowi ini masalahnya bukanlah Jokowi atau keluarganya. Ini adalah masalah tuduhan penipuan atas pekerjaan seseorang. Waktu dan keterampilan yang dibangun oleh seorang fotografer sehingga dipercaya menjadi fotografer Kepresidenan di negara yang besar ini bukan sedikit. Menggiring opini sehingga membuat orang percaya bahwa yang dilakukan seorang profesional adalah rekayasa untuk kepentingan tertentu adalah perbuatan serius yang sangat mungkin berlawanan dengan hukum. Untuk itu saya kira pantas Jonru untuk dititipkan ke polisi untuk diajukan ke pengadilan. Disana Jonru bisa berusaha membela diri bahwa tuduhannya bukan perbuatan yang melanggar hukum di negara ini.
Â