Mohon tunggu...
HG Sutan Adil
HG Sutan Adil Mohon Tunggu... Sejarawan - Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute

Pemerhati dan Penulis Sejarah, Ekonomi, Sosial, Politik. Telah menulis dua buku sejarah populer berjudul Kedatuan Srivijaya Bukan Kerajaan Sriwijaya dan PERANG BENTENG, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang. (Kontak 08159376987)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sultan Mahmud Badaruddin Jayawikrama, Penemu dan Penambang Timah Pertama di Pulau Bangka Belitung

20 September 2024   08:00 Diperbarui: 20 September 2024   08:05 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sultan Mahmud Badaruddin Jayawikrama, Penemu dan Penambang Timah Pertama di Pulau Bangka Belitung

Oleh : HG Sutan Adil

Seri Bangka Belitung #02

Sebelum penulis melanjutnya cerita sejarah ini, pada tulisan pertama sebelumnya di seri Bangka Belitung #01, penulis diminta penjelasan mengenai sumber primer atau sekunder dari tulisan sebelumnya dengan judul "Bergabung dan Terpisahnya Pulau Bangka Belitung dari Kesultanan Palembang Darussalam” yang diterbitkan pada tanggal 13 September 2024 lalu.

Tidak banyak memang naskah kuno yang dapat dijadikan rujukan dalam menulis cerita sejarah di Bangka Belitung ini. Salah satunya yang banyak dipakai dan menjadi rujukan utama oleh sejarawan lokal maupun Asing dan kolonialis Belanda sebelumnya adalah naskah kuno yang berjudul “Tjarita Bangka”. Naskah ini adalah tulisan Haji Idris yang ditulis di Mentok pada 17 Ramadhan 1295 H/ 14 September 1878 M, format buku ukuran 25 x 18 cm, ditulis dengan huruf Arab Melayu (Jawi), diarsipkan di KITLV, Leiden-Belanda (dosir Or. 67). Secara kandungan, manuskrip ini terdiri dari 29 Fasal, 113 halaman, ditulis dalam huruf Jawi, berbahasa Melayu.

Halaman Awal Tharita Banka oleh Haji Idris // Sumber : Bambang H Suseno
Halaman Awal Tharita Banka oleh Haji Idris // Sumber : Bambang H Suseno

Sedangkan naskah kuno Palembang yang dipakai adalah “Naskah Hikayat Palembang” yang ditulis oleh Syech Abdullah Al Misri antara tahun 1813 M sampai dengan tahun 1816 M dan dilanjutkan oleh Ki Rangga Satyanandita menjadi sampai tahun 1825yang juga ditulis dalam huruf Arab Melayu, versi Cod.Or. 2276C dan dialih bahasakan oleh Sejarawan Palembang yg tergabung dalam Majelis Reboan dan selanjutnya diterbit oleh Rafah Press dengan judul “Hilkayat Palembang” tahun 2019.

Buku Alih Bahasa Hikayat Palembang // Sumber : Sutanadil Institute
Buku Alih Bahasa Hikayat Palembang // Sumber : Sutanadil Institute

Kedua nasakah kuno diatas sudah di analisa dan tulis oleh M. O. WOELDERS dalam bukunya “Het Sultanaat Palembang 1811 – 1825” yang diterbitkan oleh 'S-GRA VENHAGE - MARTINUS NIJHOFF pada  tahun 1975. Disamping kedua naskah kuno diatas dan untuk memperkuat data dalam penulisan seri-seri selanjutnya, penulis juga akan menggunakan beberapa sumber sekunder dan tersier yang diambil dari tulisan sejarawan lokal Palembang dan Bangka Belitung, serta beberapa artikel yang ada di berbagai media dan  internet untuk penguatan sumber dan verifikasi.

Buku Het Sultanaat Palembang 1811-1825, Woelders // Sumber : Sutanadil Institute
Buku Het Sultanaat Palembang 1811-1825, Woelders // Sumber : Sutanadil Institute

Dikisahkan dalam Naskah Tjarita Bangka, Raden Lembu nama asli Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikrama dan kakaknya Pangeran Adipati Mangkubumi Alimuddin menuntut takhta yang diwasiatkan oleh orang tua mereka, Sultan Mansyur Jayo Ing Lago (1706-1714), yang diperuntukkan bagi mereka, kepada Sultan Agung Mahmud Komaruddin Sri Teruno (Raden Ujuk) yang berkuasa di Kesultanan Palembang Darussalam saat itu, tahun 1714-1724 M. Namun, tuntutan mereka ini ditolak oleh Sultan dan hal inilah yang  menyebabkan kedua kakak beradik itu kemudian keluar dari Palembang dengan berlayar ke Bangka hingga ke Kerajaan Johor untuk mencari bantuan dalam mengambil alih Kesultanan Palembang Palembang.

Kedua kakak beradik Pangeran dari Palembang ini diterima secara baik oleh Sultan Johor, Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV, dan diizinkan untuk tinggal selama tiga bulan disana. Namun kondisi ini mendapat kecemburuan dan ketidaksukaan dari para pejabat, menteri, hulubalang di Kesultanan Johor. Raden Lembu dan kakaknya, atas seizing Sultan Johor akhirnya pindah ke Pulau Siantan (bagian dari Kepulauan Anambas – Kepulauan Riau, saat ini) yang merupakan bagian dari Kesultanan Johor saat itu dan dipimpin oleh Wan Akub.

Pulau Siantan, Kepulauan Riau (Sekarang) // Sumber : Sutanadil Institute
Pulau Siantan, Kepulauan Riau (Sekarang) // Sumber : Sutanadil Institute

Di Pulau Siantan tersebut Raden Lembu, atas persetujuan Sultan Johor,  menikah dengan gadis bernama Zamnah, anak dari Wan Abdul Jabar dan tinggal beberapa waktu di pulau itu sambil mencari dukungan pasukan untuk menyerang Palembang. Atas pertolongan Wan Akub, dikumpulkan beberapa orang Melayu dan seorang pemimpin peranakan Bugis bernama Daeng Berani, bersama armada berjumlah 40 kapal (di luar armada pasukan Raden Lembu) berlayar dari Siantan untuk menyerang Palembang dengan terlebih dahulu singgah di Bangkakota, Pulau Bangka, untuk mempersiapkan armadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun