Oleh: HG Sutan Adil
Mencermati dan memperhatikan maraknya pemberitaan di media selama ini tantang beberapa konflik di Cagar Budaya (CB)yang berada di Kota Palembang adalah sangat memprihatinkan dan sangat mengusik pikiran saya untuk memberikan tanggapan tentang apa yang terjadi.
Mulai dari masalah Pasar Cinde yang merupakan salah satu situs cagar budaya yang dilindungi dengan Undang-undang no. 11 tahun 2010, Rumah Joang Palembang (Eks Dr.AK Gani), Makam Pangeran Kramajaya, Pemasangan Lift di Jembatan Ampera,Terlantarnya Gedung Pertemuan Eks Kuto Besak Theatre Restoran (KBTR). sampai adanya rencana perluasan Rumah Sakit AK Gani yang rencananya akan dibangun menjadi lebih modern berlantai 4.
Masalah di atas menunjukkan kurangnya perhatian dan pemahaman dari Pemerintah dan Stakeholder lainnya dalam mengelola cagar budaya sehingga tidaklah dapat tercapai sistem manajerial perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang baik berkaitan dengan pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya sebagai sumber daya budaya bagi kepentingan yang luas, sebagaimana tertuang dalam UU No 11 Tahun 2010 dan lanjut dengan PP No. 1 Tahun 2022 sebagai aturan pelaksanannya.
Yang sangat berlarut-larut sampai sekarang ini adalah dalam pengelolaan Benteng Kuto Besak (BKB) yang sudah sejak dahulu tereduksi dengan adanya Rumah Sakit Dr. AK Gani dan sekarang ini sudah termasuk dalam situs cagar budaya yang dilindungi sesuai dengan ketetapan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan No. KM.09.PW.007/MKP/2004.
Dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Palembang sejak terbentuknya, sudah pernah diundang untuk membicarakan perihal perluasan RS AK Gani ini dan sudah memberikan pendapat dan mengirim surat pendapat tersebut kepada RS AK Gani. Akan tetapi pihak manajemen RS AK Gani tetap ngotot untuk melakukan perluasan. Walaupun sudah ada kesepakatan akhir tahun 2022 lalu, tetapi tidak seharusnya ada bangunan tambahan di dalam cagar budaya (CB).
“Pihak RS AK Gani itu tetep ngotot dan ingin tetap memperluas bangunan. Sebelumnya, TACB Kota sudah diundang dan sudah memberikan pendapat, tegas dan sesuai dengan UU CB No. 11 tahun 2010. Karena BKB sudah ditetapkan sebagai CB oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2004. Tapi mereka justru tidak suka dan mau menuntut orang yang mengusulkan BKB sebaga CB.” ungkap Ibu Retno Purwanti, ketua TACB Kota Palembang.
“Perluasan bangunan dalam CB yang sudah ditetapkan itu ya ngak bisa, kenapa tidak dibangun diluar areal BKB saja, biarkan saja BKB sekarang apa adanya, tidak perlu ditambahin lagi.” Lanjutnya
“Apapun hasil kesepakatan kelompok yang hadir dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh pihak RS AK Gani itu saya tidak setuju. Dalam pertemuan itu, tidak ada wakil dari TACB Kota Palembang, karena TACB sudah punya sikap tegas. Sikap tersebut sudah dikirim melalui surat ke pihak RS AK Gani.” Pungkas ibu Retno Purwanti.
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa Benteng Kuto Besak itu dahulunya adalah sebuah Keraton Kesultanan Palembang Darussalam, yang saat Belanda mendudukinya, fungsinya diganti menjadi Benteng dengan merubah namanya menjadi Benteng Kuto Besak karena pada saat itu belanda tidak punya dana untuk membangun sendiri benteng baru mereka.